Hedonisme Mahasiswa FK, Stigma dan Paradigma yang Melekat Padanya
Sabtu,
11 Januari 2014 18.30 WIB
Mobil
yang kami kendarai melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan Solo Baru.
Ya malam itu Solo Baru menjadi tujuan perjalanan kami.
“Pa,
setuju nggak sama statement Abraham Samad yang katanya
korupsi berawal dari pejabat-pejabat yang terperangkap dalam gaya hidup
hedonisme?” saya mencoba membunuh keheningan di dalam mobil.
Maka
bergulirlah pembicaraan sepanjang perjalanan menuju salah satu mall di Solo Baru dengan topik utama
hedonisme.
“Tapi
beneran lho Pa kalau kuliah jadi anak
kedokteran mau nggak mau harus menerima stigma sosial sebagai anak hedon.”
“Aku
kalau makan sama temen-temen dari fakultas lain murah tapi kenyang, kalau sama
temen kuliah rapat aja harus di tempat mahal. Kalau pas sangune entek ya makan di rumah dulu pas rapat cuma pesen minum.”
“Bener-bener
parkiran kampusku itu full sama mobil
sampai luber-luber ke parkiran fakultas lain. Ya jangan disalahke wong itu yang
parkir di FK bukan cuma mahasiswa tapi termasuk Ko Ass sama Residen. Coba
anak-anak fakultas sebelah itu udah lulus jadi sarjana terus kemana-mana naik
mobil, apakah dapet stigma hedon juga?”
Mahasiswa FK = Anak
Bermobil, Benarkah?
Beberapa
waktu yang lalu, kasak kusuk berkembang di kampus kami, Universitas Gadjah
Mada. Masalahnya sederhana yaitu tempat parkir, namun tanggapan mahasiswa yang
mencuat bisa dibilang luar biasa.
Lahan
parkir memang menjadi salah satu masalah tak berujung di fakultas kedokteran.
Bagaimana tidak, dengan luas kampus yang tidak seberapa besar (bila
dibandingkan fakultas lain, fakultas teknik misalnya) mahasiswa yang
menggunakan mobil sebagai alat transportasi utama untuk berangkat kuliah. Lebih
jauh lagi, fakultas kami tidak hanya berisi program pendidikan S-1 yang terdiri
dari 3 prodi, namun juga S-2 dan S-3 dengan variasi program studi mencapai
belasan. Belum lagi Ko-Ass Ko-Ass yang juga butuh tempat parkir. Residen
(dokter yang tengah menempuh pendidikan dokter spesialis) adakalanya juga numpang parkir di fakultas kedokteran.
Bila dibuat perhitungan statistik, mungkin jumlah mahasiswa berbagai program
yang beraktifitas di FK bisa mencapai seribu orang, bahkan lebih.
Ngomong-ngomong tentang statistik, ada baiknya saya
sedikit menyinggung hitung-hitungan kasar yang saya analisa sendiri. Agak aneh
rasanya bila saya terlalu banyak berkoar-koar tentang isu lahan parkir tanpa
melibatkan hitung-hitungan matematis.
Pertama,
fakultas kami terdiri dari program S-1, S-2, dan S-3. Karena saya kurang paham
dengan program S-2 dan S-3, maka pembahasan statistik ini akan saya persempit
menjadi S-1 saja. Program S-1 terdiri dari 3 prodi yaitu Pendidikan Dokter,
Ilmu Keperawatan, dan Gizi Kesehatan. Mari kita mulai pembahasan dari prodi
Pendidikan Dokter yang terdiri dari kelas reguler (200-400 mahasiswa per
angkatan), kelas internasional (sekitar 100 mahasiswa per angkatan) sehingga
total mahasiswa dari program studi Pendidikam Dokter adalah sekitar 400
mahasiswa dan dengan lama studi selama 7 semester maka jumlah total mahasiswa
dari 4 angkatan yang beraktifitas di dalam kampus setiap harinya adalah 2800
orang. Selanjunya prodi Gizi Kesehatan dan Ilmu Keperawatan yang jumlah total
mahasiswanya sekitar 200 orang per angkatan sehingga jumlah total mahasiswa
dari 4 angkatan dari kedua prodi ini adalah 800 orang. Bila dijumlahkan maka
total mahasiswa yang harus kuliah setiap harinya adalah 3600 mahasiswa. Bila
saya umpamakan seluruh mahasiswa menggunakan sepeda motor ke kampus dan luasan
lahan parkir yang dibutuhkan 1 motor untuk parkir adalah 1 m2 maka
total lahan parkir yang dibutuhkan adalah 3600 m2. Jumlah tersebut
tentu tidak terlalu luas.
Problemnya
adalah; tidak semua mahasiswa FK menggunakan sepeda motor ke kampus. Lebih dari
10% mahasiswa menggunakan mobil sebagai alat transportasi menuju kampus (data
ini berdasarkan fakta yang terjadi di kelompok tutorial saya; 1 dari 10
mahasiswa menggunakan mobil sebagai alat transportasi menuju kampus). Jumlah
10% ini tentu hanya “angka tembakan” semata, karena faktanya di lapangan bisa
pasti tidak tepat 10%. Dengan perhitungan statistik lebar mobil rata-rata
adalah 1,75 m2 (saya bulatkan menjadi 2 m2) dan
panjangnya 2,5 m2 maka 1 mobil membutuhkan kira-kira 5 m2.
Dan bila “benar” 10% mahasiswa FK membawa mobil maka jumlah mobil butuh lahan
parkir di FK adalah 360 mobil adalah 1800 m2. Dengan demikian jumlah
lahan tambahan yang dibutuhkan karena 10% mahasiswa yang naik mobil ini adalah
1800 m2 – 360 m2 (jumlah lahan yang dibutuhkan bila 10%
mahasiswa tersebut memilih naik motor) yakni 1440 m2. Angka yang
cukup fantastis bagi saya karena luas rumah orang tua saya di Klaten hanyalah
200 m2 yang berarti luas “lahan tambahan” yang dibutuhkan adalah 7
kali luas rumah saya.
Melalui
tulisan ini pula saya ingin meluruskan bahwa stigma sosial yang berkembang
bahwa anak FK adalah mahasiswa bermobil tidaklah tepat. Memang benar bahwa
sebagian kecil mahasiswa FK naik mobil ke kampus, namun percayalah bahwa jumlah
mahasiswa yang naik motor jauh lebih banyak. Mungkin kampus kami tidak ubahnya showroom mobil yang meluber sampai ke
jalanan fakultas lain, namun sekali lagi percayalah bahwa tidak semua mobil
yang terparkir memenuhi jalan sains dan meluas hingga merebut zebra cross
adalah mobil milik mahasiswa, seperti yang saya ungkapkan di atas, begitu
banyak pihak berkepentingan di FK setiap harinya. Intinya, maafkanlah kami.
Sekali lagi maafkanlah kami.
Mahasiswa FK = Jagoan
Check In di Restoran Mahal
Senin,
18 November 2013 18.30 WIB
“Aku
mau ngajak kamu makan, tapi aku bingung mau ngajak kamu makan dimana soalnya
tiap hari aku makan nasi telur di burjo. Kamu aja yang milih mau makan dimana.”
Beberapa
bulan yang lalu saya berjanji menemani salah seorang teman makan malam. Masalah
klasik yang selalu terjadi ketika dua orang kelaparan butuh makan adalah :
makan apa dan dimana. Jawaban klasik yang selalu muncul untuk pertanyaan ini
adalah : terserah (Salah satu cita-cita saya adalah buka restoran namanya
Terserah, pasti laku berat).
Saya
tersenyum simpul mengingat pertanyaan teman saya. Agak mustahil rasanya seorang
mahasiswa semester 3 selama 1,5 tahun selalu makan di burjo. Pasti ada tempat
makan selain burjo yang pernah dia coba. Masalahnya adalah mungkin ekspektasi
teman saya ketika ngajak makan anak FK adalah check in Path di Sushi Tei. Toh, pada akhirnya kami makan nila
goreng.
Mobil
kami memasuki area parkir Hartono Mall, salah satu Mall di Solo Baru
“Tapi
beneran lho, Pa aku bisa kere kalau
nurut temen-temenku makan di tempat mahal.”
“Nduk, untuk menjadi orang besar kamu
harus punya mental orang besar, bersikap seperti orang besar. Masak iya rapat
menteri-menteri di burjo? Nggak
mungkin, ‘kan? Temen-temenmu yang
suka hedon itu bukan berarti mereka buang-buang uang. Mereka hanya sedang
belajar bersikap sebagai orang besar. Dan kamu juga harus belajar seperti itu.
Latihan jadi orang besar. Asal tidak jadi kebiasaan sehari-hari, makan di
tempat mahal tidak bisa dianggap hedonisme.”
Aku
tertegun. Hedonisme telah menjadi stigma sosial yang melekat pada mahasiswa FK.
Paradigma yang berkembang di masyarakat tentang kehedonan mahasiswa FK juga
tidak bisa dipungkiri, termasuk oleh saya sendiri yang men-judge bahwa
lingkungan saya identik dengan kehedonan. Namun malam itu saya belajar, bahwa
stigma dan paradigma tentang hal apapun (hedonisme misalnya) cuma masalah
perspektif, cara pandang kita.
“Semut nampak besar
kalau kamu lihat dari jarak 1 cm, tapi gajah bisa jadi terlihat sangat kecil
kalau kamu lihat dari jarak 1 km. Semua tergantung darimana kita memandang.” – Ardhani, 2014