Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari
Citra perempuan sebagai makhluk
yang lebih mengutamakan rasa dibanding logika adalah realita yang selama ini
dipandang sebagai bagian dari kodrat perempuan itu sendiri. Letupan emosi, yang
seringkali tak sempat tererupsi dari palung hati, nampak lebih pantas
bersubyekkan seorang perempuan ketimbang
lelaki. Perempuan dan gejolak yang dirasakannya merupakan perpaduan unik yang
tak sederhana untuk dipahami.Paradigma inilah yang kemudian melatarbelakangi
eksplorasi pengisahan perempuan, dan perasaannya, sebagai tambang ide yang
seolah tak akan pernah habis untuk digali dunia sastra.
Menyibak relung hati perempuan
tak ubahnya menjelajah sebuah lorong yang tiada berujung dan tiada berpangkal. Kompleksitas
di dalamnya membawa kita pada titik yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Bagaikan menyusun puluhan puzzles yang
terserak begitu saja, yang bila tertata dengan semestinya merupakan semacam
kode yang akan mengantarkan kita pada rahasia – rahasia yang melatarbelakangi kompleksitas
berpikir seorang perempuan. Rahasia – rahasia perempuan yang melatarbelakangi
kompleksitas berpikir mereka inilah yang berusaha ditelanjangi oleh Dee melalui cerita – cerita pendek yang terangkum dalam sebuah kumpulan
cerita yang Ia anugerahi nama Madre.
Rimba
Amniotik
Tak banyak penulis muda, yang seusia Dee, bernyali untuk menjual idealisme dalam sebuah karya sastra,
dan seolah tak peduli dengan mainstream
yang diusung novelis - novelis lain. Melalui Rimba Amniotik, Dee
dengan percaya diri menyuguhkan gaya penceritaan yang tak biasa berupa dialog
antara ibu dan janinnya,
Tokoh
Ibu yang kehamilannya diceritakan telah menginjak sembilan bulan tengah menanti
kelahiran sang jabang bayi. Mereka,
dua jiwa yang terbalut dalam satu raga, terpisahkan oleh selapis kulit perut.
Namun, bagi Sang Ibu, relasi antara Ia dan janinnya tidak sesederhana dua jiwa
dalam satu raga terpisahkan selapis kulit perut. Jauh lebih kompleks dibanding
itu, keduanya adalah dua manusia yang saling mengandung, Sang Ibu mengandung
janinnya. Di lain sisi Ia dikandung oleh kehamilan dirinya yang menempa Ia
menjadi manusia yang lebih utuh. Embrio kecil itu mengandung jiwanya,
mengemudikan tubuh dan hati, bahkan jiwanya. Begitu pun sebaliknya.
Dari jutaan kata lain yang mampu
mencitrakan sesosok wanita hamil, pilihan Dee
jatuh pada amniotik, lapisan plasenta yang berupa kantung pelindung bayi dalam
rahim. Pemilihan judul Rimba Amniotik,
paduan antara nilai sastra yang kental dan muatan ilmiah yang tak kalah pekat
membuktikan kecerdasan seorang Dee
sebagai penulis yang selalu mampu menyisipkan nilai – nilai science di tiap karyanya.
Tanpa menonjolkan unsur
penokohan, Rimba Amniotik
memperkenalkan tokoh sang Ibu dan janinnya dengan sangat halus. Penciptaan
tokoh Ibu serta percakapannya dengan sang janin -yang sesungguhnya merupakan
imajinasi sang Ibu semata- dibawakan Dee
tanpa penjelasan detail dan gamblang, mengalir begitu saja. Bahkan Dee mencoba memberi ruang bagi pembaca
untuk menerka – nerka hakikat kata demi kata yang ditulisnya, mencumbu karyanya
hingga puas.
Guruji
Adalah Ari, perempuan biasa, tokoh sentral yang secara
tak sengaja bertemu dengan lelaki bernama sama dengannya, Ari di sebuah workshop tentang hipnosis regresi.
Lelaki itu terlihat amat tidak antusias hadir di sana. Beberapa kali Ia nampak
tertidur, limbung karena kantuk. Tak terduga, ketidak-antusiasan itu malah berhasil mencuri perhatian Ari.
Lelaki
itu tampak lebih hidup ketika mereka berkenalan. Tertawa lepas saat mereka menyebutkan
nama yang sama. Waktu membawa keduanya tenggelam dalam lautan perasaan yang tak
sedikit pun ingin mereka lawan. Hingga pada suatu pagi, Ari lelaki pergi begitu
saja, tanpa pesan, seolah ingin mencampakkan segala kenangan yang belum
berakhir, bahkan baru saja dimulai. Ari
mencoba mencari lelaki limbung yang kini sukses menggerogoti jiwanya. Tapi
nampaknya takdir belum berkenan mempertemukan mereka empat mata. Semua tentang
lelaki itu nampak lebih mirip rekaman dan bayangan yang terus mengitari kepala.
Cerita
orang – orang, artikel majalah, dan
carikan surat kabar membawa Ari datang pada Guruji. Guruji, pemilik padhepokan Buddha, yang tak lain adalah
transformasi dari Ari-nya merupakan perjudian terakhir Ari untuk menuntaskan
sisa – sisa perasaan dalam hatinya yang ingin segera Ia akhiri.
Cukup
kontras dengan Rimba Amniotik yang
sejujurnya lebih layak disebut tulisan ringan ketimbang cerita pendek, Guruji menyuguhkan cerita pendek pada
lazimnya. Cerita yang simple, hanya
melibatkan dua tokoh utama namun sama – sama berkarakter kuat. Berlatar sebuah
padepokan Buddha dan segala detailnya, lagi – lagi Dee memberi pembuktian bahwa Ia bukanlah penulis cerita fiksi yang
merangkai satu demi satu peristiwa yang standar – sudah banyak dipakai penulis
lain dan itu – itu saja – dengan cara yang standar pula. Jalan hidup Dee yang sempat mendalami ajaran Sang
Buddha mengantarkannya pada ide cerita berlatar padepokan Buddha, termasuk
penamaan tokoh Guruji, sebuah nama yang sarat nuansa buddhish.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar