Pages

Selasa, 24 April 2012

Madre (dalam sebuah Resensi) I

Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari

Citra perempuan sebagai makhluk yang lebih mengutamakan rasa dibanding logika adalah realita yang selama ini dipandang sebagai bagian dari kodrat perempuan itu sendiri. Letupan emosi, yang seringkali tak sempat tererupsi dari palung hati, nampak lebih pantas bersubyekkan seorang perempuan ketimbang lelaki. Perempuan dan gejolak yang dirasakannya merupakan perpaduan unik yang tak sederhana untuk dipahami.Paradigma inilah yang kemudian melatarbelakangi eksplorasi pengisahan perempuan, dan perasaannya, sebagai tambang ide yang seolah tak akan pernah habis untuk digali dunia sastra.
Menyibak relung hati perempuan tak ubahnya menjelajah sebuah lorong yang tiada berujung dan tiada berpangkal. Kompleksitas di dalamnya membawa kita pada titik yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Bagaikan menyusun puluhan puzzles yang terserak begitu saja, yang bila tertata dengan semestinya merupakan semacam kode yang akan mengantarkan kita pada rahasia – rahasia yang melatarbelakangi kompleksitas berpikir seorang perempuan. Rahasia – rahasia perempuan yang melatarbelakangi kompleksitas berpikir mereka inilah yang berusaha ditelanjangi oleh Dee melalui cerita – cerita  pendek yang terangkum dalam sebuah kumpulan cerita yang  Ia anugerahi nama Madre.

Rimba Amniotik
                Tak banyak penulis muda, yang seusia Dee, bernyali untuk menjual idealisme dalam sebuah karya sastra, dan seolah tak peduli dengan mainstream yang diusung novelis - novelis lain. Melalui Rimba Amniotik, Dee dengan percaya diri menyuguhkan gaya penceritaan yang tak biasa berupa dialog antara ibu dan janinnya,
                Tokoh Ibu yang kehamilannya diceritakan telah menginjak sembilan bulan tengah menanti kelahiran sang jabang bayi. Mereka, dua jiwa yang terbalut dalam satu raga, terpisahkan oleh selapis kulit perut. Namun, bagi Sang Ibu, relasi antara Ia dan janinnya tidak sesederhana dua jiwa dalam satu raga terpisahkan selapis kulit perut. Jauh lebih kompleks dibanding itu, keduanya adalah dua manusia yang saling mengandung, Sang Ibu mengandung janinnya. Di lain sisi Ia dikandung oleh kehamilan dirinya yang menempa Ia menjadi manusia yang lebih utuh. Embrio kecil itu mengandung jiwanya, mengemudikan tubuh dan hati, bahkan jiwanya. Begitu pun sebaliknya.
Dari jutaan kata lain yang mampu mencitrakan sesosok wanita hamil, pilihan Dee jatuh pada amniotik, lapisan plasenta yang berupa kantung pelindung bayi dalam rahim. Pemilihan judul Rimba Amniotik, paduan antara nilai sastra yang kental dan muatan ilmiah yang tak kalah pekat membuktikan kecerdasan seorang Dee sebagai penulis yang selalu mampu menyisipkan nilai – nilai science di tiap karyanya.
Tanpa menonjolkan unsur penokohan, Rimba Amniotik memperkenalkan tokoh sang Ibu dan janinnya dengan sangat halus. Penciptaan tokoh Ibu serta percakapannya dengan sang janin -yang sesungguhnya merupakan imajinasi sang Ibu semata- dibawakan Dee tanpa penjelasan detail dan gamblang, mengalir begitu saja. Bahkan Dee mencoba memberi ruang bagi pembaca untuk menerka – nerka hakikat kata demi kata yang ditulisnya, mencumbu karyanya hingga puas.

Guruji
                Adalah Ari, perempuan biasa, tokoh sentral yang secara tak sengaja bertemu dengan lelaki bernama sama dengannya, Ari di sebuah workshop tentang hipnosis regresi. Lelaki itu terlihat amat tidak antusias hadir di sana. Beberapa kali Ia nampak tertidur, limbung karena kantuk. Tak terduga, ketidak-antusiasan itu malah berhasil mencuri perhatian Ari.
                Lelaki itu tampak lebih hidup ketika mereka berkenalan. Tertawa lepas saat mereka menyebutkan nama yang sama. Waktu membawa keduanya tenggelam dalam lautan perasaan yang tak sedikit pun ingin mereka lawan. Hingga pada suatu pagi, Ari lelaki pergi begitu saja, tanpa pesan, seolah ingin mencampakkan segala kenangan yang belum berakhir, bahkan baru saja dimulai.  Ari mencoba mencari lelaki limbung yang kini sukses menggerogoti jiwanya. Tapi nampaknya takdir belum berkenan mempertemukan mereka empat mata. Semua tentang lelaki itu nampak lebih mirip rekaman dan bayangan yang terus mengitari kepala.
                Cerita orang – orang, artikel majalah,  dan carikan surat kabar membawa Ari datang pada Guruji. Guruji, pemilik padhepokan Buddha, yang tak lain adalah transformasi dari Ari-nya merupakan perjudian terakhir Ari untuk menuntaskan sisa – sisa perasaan dalam hatinya yang ingin segera Ia akhiri.
                Cukup kontras dengan Rimba Amniotik yang sejujurnya lebih layak disebut tulisan ringan ketimbang cerita pendek, Guruji menyuguhkan cerita pendek pada lazimnya. Cerita yang simple, hanya melibatkan dua tokoh utama namun sama – sama berkarakter kuat. Berlatar sebuah padepokan Buddha dan segala detailnya, lagi – lagi Dee memberi pembuktian bahwa Ia bukanlah penulis cerita fiksi yang merangkai satu demi satu peristiwa yang standar – sudah banyak dipakai penulis lain dan itu – itu saja – dengan cara yang standar pula. Jalan hidup Dee yang sempat mendalami ajaran Sang Buddha mengantarkannya pada ide cerita berlatar padepokan Buddha, termasuk penamaan tokoh Guruji, sebuah nama yang sarat nuansa buddhish.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar