Sabtu, 29 September 2012
Babak Baru
Tirai panggung yang megah telah terbuka. Babak yang baru tepat akan dimulai dan entah kapan akan diakhiri. Babak yang singkatkah? Tidak berujungkah?
Memulai babak baru mungkin bukanlah sesuatu yang baru –setidaknya bukan pertama kali-. Tirai dibuka, cahaya lampu siap menyala, puluhan bahkan ratusan pasang mata mengamati, panggung telah siap.
Kini saatnya berperan, menjadi pemeran – pemeran kehidupan. Tidak sehitam ke-antagonis-an yang nista. Tidak seputih ke-protagonis-an yang mendewa. Keabu-abuan yang terus berusaha memutih dalam kesucian hidup.
Kamis, 05 Juli 2012
Perjudian Cinta
Perjudian dalam Balutan Cinta
Mencintaimu dalam panggung perjudian. Bertaruh tanpa pernah tahu akan mendapat apa.
Apakah engkau dan aku benar - benar bertaruh? Logika bisa saja bilang tidak. Tapi hati? Tentu ia akan berkata iya. Bukankah tetek bengek tentang cinta hanya hati yang bisa merasa?
Kita berdua sudah tahu sama tahu. Tentang suatu malam yang menyadarkanku tentang "Ya, Inilah hidup!" - sebagian berpesta sementara yang lainnya mandi air mata. Lalu Mamamu bertanya "Terus piye, Mas ?" Kamu diam. Di lain tempat aku pergi tidur dengan tenang, membiarkanmu menekuri jalan yang Tuhan beri ini. Bukankah ada-ku hanya akan menebar lebih bayak luka?
Kemudian waktu membuat semuanya seolah baik-baik saja. Kamu berjuang sangat keras, sangat. Jauh lebih keras dari apa yang sebelumnya pernah aku lakukan. Dan sekali lagi Tuhan yang akan menentukan jalannmu, jalan kita.
Tiga hari lagi semua pertanyaan yang menggantung di langit-langit otakku terjawablah. Tentang bagaimana dan apa. Tentang aku, tentang engkau, tentang kita.
Kegagalan-kah yang akan kau terima? Atau keberhasilan-kah yang akan engkau raih? Sejujurnya aku sama sekali tidak peduli. Bukankah apa yang telah dan akan kita jalani hanyalah perjudian cinta semata? Sama - sama bertaruh rasa, tanpa tahu akan mendapat apa. Sama - sama menggadaikan waktu dan cinta tanpa sempat bertanya akan bagaimana.
Bila kedua hati yang kita pertaruhkan adalah arus yang kadang deras dan kadang tenang. Tuhan lah yang akan menentukan kemana mereka akan bermuara. :)
Kita berdua sudah tahu sama tahu. Tentang suatu malam yang menyadarkanku tentang "Ya, Inilah hidup!" - sebagian berpesta sementara yang lainnya mandi air mata. Lalu Mamamu bertanya "Terus piye, Mas ?" Kamu diam. Di lain tempat aku pergi tidur dengan tenang, membiarkanmu menekuri jalan yang Tuhan beri ini. Bukankah ada-ku hanya akan menebar lebih bayak luka?
Kemudian waktu membuat semuanya seolah baik-baik saja. Kamu berjuang sangat keras, sangat. Jauh lebih keras dari apa yang sebelumnya pernah aku lakukan. Dan sekali lagi Tuhan yang akan menentukan jalannmu, jalan kita.
Tiga hari lagi semua pertanyaan yang menggantung di langit-langit otakku terjawablah. Tentang bagaimana dan apa. Tentang aku, tentang engkau, tentang kita.
Kegagalan-kah yang akan kau terima? Atau keberhasilan-kah yang akan engkau raih? Sejujurnya aku sama sekali tidak peduli. Bukankah apa yang telah dan akan kita jalani hanyalah perjudian cinta semata? Sama - sama bertaruh rasa, tanpa tahu akan mendapat apa. Sama - sama menggadaikan waktu dan cinta tanpa sempat bertanya akan bagaimana.
Bila kedua hati yang kita pertaruhkan adalah arus yang kadang deras dan kadang tenang. Tuhan lah yang akan menentukan kemana mereka akan bermuara. :)
Selasa, 24 April 2012
Ironi dalam Sebuah Integrasi
“ Gimana matematika? Sepuluh opo ora?“
“ Belum sepuluh wong yang macet dua nomer. “
“ Tapi lancar to? “
“ Walaupun sempat ada insiden ganti
LJK tapi Alhamdulilah lancar. ”
“ Lha keno opo LJK-ne? “
“ Lagi ngisi identitas tok saja
dihapus langsung sobek. Kualitas LJK-nya nggak
sebagus biasanya. “
“ Halah Indonesia, Indonesia. Opo yo
duit LJK dikorupsi. ”
We were chosen to born as an Indonesian, to bring some change, not to
complain about our country. @ArdyIhsan
Kicauan dari Ardy, teman seangkatan
saya di sekolah mengingatkan saya untuk lebih nrima menanggapi LJK yang amat tipis dan rawan sobek. Insiden LJK
sobek yang saya alami sudah pasti sangat merugikan karena 5 menit pertama yang
sangat berharga pada mata pelajaran matematika terbuang untuk mengulang
pengisian identitas. Bahkan, ternyata di sekolah saya bukan saya seorang yang
mengalami insiden LJK robek, meski beruntungnya sekolah kami ditunjuk sebagai
sub Rayon sehingga penggantian LJK dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Kualitas LJK yang tidak memadai
bukan satu-satunya masalah lama yang lagi – lagi terulang di pelaksanaan UN kali
ini. Bahkan bisa dibilang cuman sekelumit
kecil dibanding yang lain -karena efeknya yang hanya menimpa siswa yang bersangkutan-,
dimana dilematika lain yang membarengi
Ujian Nasional cenderung menjadikan peserta ujian sebagai tameng bagi
kepentingan pihak – pihak lain.
Maybe it’s easy to complain, to criticize, setidaknya tweet
Ardy tadi semacam warning bagi
saya untuk tidak berceloteh tentang ke-bobrok-an,
ya saya tidak akan mengupas tentang apa yang salah. Saya hanya ingin
memanfaatkan hak saya untuk berpendapat tentang “hak” saya dan jutaan anak di luar
sana, yang akan memulai fase baru di hidupnya sebagai mahasiswa tahun ini.
Tahun lalu, 2011, Kemendikbud
mengintegrasikan seleksi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), yang sebelumnya
dilaksanakan masing – masing instansi, untuk diambil alih oleh Pemerintah
sehingga masing – masing PTN berkewajiban mengikuti serangkaian SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk PTN). Tahun lalu memang bukan pertama kalinya SNMPTN digelar
karena sesungguhnya seleksi nasional ini telah ada sejak eranya Papa dan Mama
saya cari kuliahan. Hanya, mungkin
pada era itu masih bertitel SPMB. Bila dibuat comparison mungkin sistem yang saat ini berlaku hampir – hampir
mirip dengan era Papa Mama saya, memakai dua jalur yaitu PMDK (bentuk masa
lampau dari SNMPTN Undangan) dan SMPB.
Tentang mekanisme jalur masuk PTN,
saya yakin teman – teman 2012 sudah amat paham. Meski mekanisme baru ini kurang
berpihak pada saya pribadi namun sejujurnya ada satu hikmah yang saya petik,
mungkin Pemerintah kita ingin menyentralisasikan seleksi penerimaan mahasiswa
baru semua PTN di bumi pertiwi di bawah bendera Kemendikbud. Gebrakan yang
bijaksana di tengah separation movement
yang baru – baru ini sering terdengar gaungnya.
Namun, ada satu isu yang menyentil tangan saya untuk bicara lewat
deretan huruf yang berjajar di keyboard,
Integrasi nilai Ujian Nasional sebagai salah satu komponen penilaian pada
SNMPTN. Meski tahun ini masih sebatas wacana, yang berarti saya dan teman –
teman 2012 lainnya selamat, namun hati dan logika saya tidak bisa serta merta
menerima bila hasil Ujian Nasional dijadikan salah satu komponen penilaian pada
SNMPTN.
Integritas, Saat Kejujuran Semahal Berlian
Untuk menjadikannya sebagai
sub-judul dalam tulisan ini pun sejujurnya saya harus terlebih dahulu membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ya, integritas peserta UN dalam menggarap ujian
menurut saya masih perlu dipertanyakan sehingga kompetensi siswa tidak dapat
diukur melalui Ujian Nasional.
Ketidakjujuran siswa dalam
mengerjakan ujian memang bukan hal baru di negeri ini. Meski demikian, tanpa
bermaksud membela, amat ingin saya tekankan bahwa ketidakjujuran siswa ini
bukanlah semata keinginan dari sang pelaku untuk berbuat curang. Lebih jauh,
rendahnya integritas siswa merupakan produk dari lingkaran setan yang entah
siapa yang salah.
Disadari atau tidak, UN merupakan
salah satu ajang prestisius yang bukan hanya sekadar penentu lulus atau tidaknya
seorang siswa, UN merupakan salah satu tolak ukur kualitas sebuah sekolah baik
di mata masyarakat luas maupun penggerak pendidikan sendiri. Bahkan, mungkin
pula menjadi barometer berhasil tidaknya proses pembelajaran di suatu daerah
tertentu, yang memiliki kans
tersendiri untuk dijadikan bahan evaluasi tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi. Oleh sebab itu, dapat saya katakan bahwa UN bukan hanya pertaruhan
hidup dan mati siswa yang bersangkutan sehingga sejatinya tidak sesederhana
sebuah ujian biasa karena dalam pelaksanaannya bukan hanya siswa yang
“bersemangat” menjadi yang terbaik, banyak pihak.
Terlepas dari tekanan dari banyak
pihak yang secara tidak langsung mengharuskan siswa memberikan yang terbaik
pada UN, ketidakpercayaan diri merupakan salah satu latar belakang rendahnya
integritas siswa. Singkatnya, kejujuran yang semahal berlian merupakan wujud
kompleksitas problema yang melatarbelakanginya.
Sinkronisasi
Masih sangat jelas terekam di memori
saya, betapa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang di dalamnya saya pun
tercatat sebagai salah satu pelajarnya, diinjak – injak dan dicemooh namanya
oleh berbagai media berkaitan dengan hasil UN tahun lalu yang hampir menduduki
posisi paling bungsu di Indonesia, sangat kontras dengan predikat kota pelajar
yang disandangnya. Namun dalam waktu yang singkat, headline media massa berbalik memberitakan hasil cemerlang yang
diraih pelajar DIY dalam menembus bangku PTN. Ketidaksinkronan hasil UN dan
seleksi PTN ini menjadi salah satu fakta yang saya harap dapat menjadi
pertimbangan Kemendikbud dalam menentukan sikap.
Entah karena mahalnya sebuah
integritas, atau sebab yang lain, ketidaksinkronan hasil UN dan SNMPTN bagi
saya adalah hal yang wajar. Mengapa? Karena keduanya menguji hal yang jauh
berbeda. Ujian Nasional merupakan penguji berhasil tidaknya proses pembelajaran
siswa selama tiga tahun di bangku SMA sedangkan SNMPTN merupakan sebuah seleksi
yang bertujuan untuk mencari bibit- bibit unggul yang siap menimba ilmu di
perguruan tinggi.
Mungkin tulisan yang merupakan
curahan uneg – uneg saya pribadi
selaku bagian kecil dari UN tahun ini hanya akan berakhir sebagai notes di Facebook dan satu posting di
blog.
Mungkin akan dibaca beberapa orang
yang tidak sengaja mampir, atau hanya sekadar dilihat – lihat karena kata –
katanya sungguh perspektif subyektif dan menjemukan
Mungkin akan sedikit memenuhi ruang
pikir pembacanya, untuk kemudian sejenak bernaung disana, kemudian berlalu
begitu saja.
Ya, mungkin dan mungkin. Namun,
meski penuh kemungkinan yang tak pasti, setidaknya tulisan yang sungguh tiga
hari ini tak berhenti merajuk saya untuk menyentuh dan menyelesaikannya ini
telah berhasil mengurangi letupan – letupan ide yang bermain di kepala saya.
Dan, tulisan ini menyelamatkan saya
dari I don’t know what to do di masa
– masa rehat pasca UN sembari mengumpulkan semangat menyongsong SNMPTN.
Bila 2013 kelak hasil UN benar
menjadi salah satu komponen penilaian SNMPTN, saya sangat berharap Pemerintah
telah berhasil menciptakan formula yang tepat yang dapat menguji kesiapan siswa
dalam menyongsong bangku perkuliahan meski dalam bingkai Ujian Nasional.
Madre (dalam sebuah Resensi) II
Menunggu
Layang – Layang
Christian dan Starla, sepasang sahabat yang dipersatukan
oleh jurang perbedaan. Che, lelaki sangat biasa – biasa saja, cenderung kolot dan mencintai ritme hidup yang
teratur beradu dengan Starla, gadis modern yang amat dinamis, bahkan terkesan semrawut.
Che hampir tak pernah terlibat
percintaan dengan perempuan, terlalu khawatir kehadiran kaum hawa akan mengusik
ritme hidupnya. Di lain pihak, Starla percaya bahwa mencoba – coba adalah
bagian dari pencarian cinta hingga pada suatu waktu Ia dipertemukan dengan
Rako, sahabat lama Che.
Che sudah hafal di luar kepala
Rutinitas pencarian cinta Starla. Ia berani memastikan bahwa Rako adalah korban
pencarian cinta Starla yang selanjutnya. Ultimatum Che pada Starla untuk tak
mengumbar harapan kosong pada Rako dianggap Starla sebagai angin lalu. Che
gusar. Bagaimana bisa Ia membiarkan Rako terperangkap dalam modus operandi yang dilancarkan Starla?
Dugaan Che tepat. Rako dan Starla
bubar begitu saja seperti yang sudah
– sudah. Kelakuan Starla sudah di ambang kewajaran. Che memilih untuk pergi
dari Starla, satu – satunya teman yang Ia miliki, satu – satunya sosok yang
meluweskan ke-rigid-an hidupnya.
Pada akhirnya waktu jualah yang
memaksa Che untuk kembali Starla. Waktu pula yang menyadarkan keduanya bahwa
sejujurnya mereka adalah dua hati yang sama – sama kesepian, namun mencoba
menghalaunya dengan cara yang berbeda. Starla terus mengisi hatinya dengan
cinta – cinta semu. Sementara Che memilih menjadi penunggu yang setia,
menikmati kesepian sebagai bagian dari apa yang harus Ia jalani.
Bila hati mereka adalah dua kotak
kosong yang sama – sama menanti untuk diisi, apa salahnya mencoba mengisi satu
sama lain?
Tak jauh berbeda dengan Guruji, Menunggu Layang – Layang memperkenalkan dua tokoh utama dengan
lugas tanpa bertele – tele. Berlatar
kehidupan metropolitan, Dee
memvisualisasikan tokoh Starla dan Che dengan apik. Starla, wanita modern
dengan sejuta pesona hadir mendampingi Che, lelaki kesepian yang keberadaannya dalam
masyarakat selama ini seringkali kita abaikan.
Kecermatan Dee dalam menjelaskan detail ceritanya terlihat jelas di Menunggu Layang – Layang. Kejadian demi
kejadian Ia kupas tajam, hingga alam bawah sadar pembaca sepenuhnya hanyut
dalam pusaran yang Ia ciptakan.
Perempuan dan
Rahasia
Meski menyuguhkan kisah yang
berbeda – beda, ketiga karya Dee yang
saya jumput dari Madre menampilkan
tema yang kurang lebih sama, yaitu cinta. Lebih detailnya, ketiga cerita pendek
di atas menggarisbawahi kompleksitas berpikir kaum hawa. Kisah kehamilan
seorang wanita, kepergian seorang laki – laki meninggalkan perempuan yang
sangat mencintainya serta persahabatan yang bermetamorfosa sebagai cinta adalah
tema standar yang sering kita temui, baik dalam cerita fiksi maupun kehidupan
nyata. Namun, lagi – lagi dengan kelihaiannya, Dee berhasil menyajikan sebuah realita di balik ketiga tema standar
itu, yaitu jalan pikiran perempuan – perempuan dalam menghadapi situasi dan
kondisi yang sedang dialaminya yang tidak se-standar kejadian yang dialaminya.
Mungkin pernah terlintas dalam
pikiran kita bahwa dalam hari – hari terakhir kehamilannya, seorang Ibu amat
gelisah. Kekalutan tersebut sampai – sampai
menyulut imajinasinya berbincang dengan sang janin. Dalam background kegelisahan perempuan yang tengah mengandung inilah Dee mencoba menyisipkan nilai – nilai
yang ingin Ia bagi dalam kemasan perbincangan Sang Ibu dan janin.
Guruji bukanlah kisah cinta tak sampai yang pertama kali
dirangkum dalam sebuah cerpen. Dengan tema standar inilah Dee mencoba memainkan emosi pembacanya lewat konflik – konflik yang
dialami tokoh Ari. Dee menarasikan
pencarian perempuan akan lelaki yang dicintainya, termasuk detail perasaan
seorang perempuan yang ditinggalkan oleh sang kekasih. Tak berhenti sampai di
situ, Dee juga mengupas tuntas jalan
pikiran tokoh Ari, yang sekilas tak berlogika. Nampaknya Dee berusaha memberikan pembelaan terhadap jalan berpikir Ari
melalui rahasia – rahasia dalam hati tokoh Ari yang kemudian membawa kita pada
penerimaan atas jalan yang ditempuhnya.
Menunggu
Layang – Layang, cara yang ditempuh Dee untuk menguak rahasia hati Starla,
perempuan metropolitan yang secara fisik nampak hampir sempurna namun
seringkali mendapatkan penilaian negatif dari sekitarnya karena hobi gonta – ganti pacar. Dee mencoba menjelaskan isi hati sosok playgirl
macam Starla. Menunggu Layang –
Layang menjelaskan bahwa bukan kemauan Starla untuk mencari – cari cinta
Sikap gonta – ganti pacar yang
ditunjukkannya hanyalah bagian dari cara Starla mengusir kesepian yang mencabik
– cabik hatinya. Penceritaan yang mellow
namun tidak dibuat – buat,.
Dewi Lestari, yang lebih dikenal
dengan nama Ketiga kisah Dee di atas
merupakan hasil eksplorasinya tentang perasaan perempuan, tambang kisah yang
tak akan habis digali. Dee mencoba
menerangkan bahwa dalam cara bertindaknya yang terkadang sulit diterima logika,
terdapat rahasia – rahasia perempuan yang kadang luput dari perhatian. Bukankah
semua hati punya rahasia?
Burung tak sempat bertanya
Apakah dirinya merdu
Apa itu yang bernyanyi menembus awan
Dan mengantar hujan
Ia hanya terbang, merajut cinta dengan daun dan musim
Hingga semua telinga terjaga oleh kebenaran suaranya
Kupu – kupu tak sempat bertanya
Apakah dirinya indah
Apa itu yang membentang megah
Menggoda hutan untuk menawan cahaya bintang
Ia hanya hinggap, maerajut cinta dengan embun dan bunga
Hingga semua mata terpesona akan kecantikan sayapnya
Bunga tak sanggup bertanya
Apakah dirinya wangi
Apa itu yang meruap, memenuhi udara dan
Melahirkan kehidupan
Ia hanya tumbuh, merajut cinta dengan liur dan madu
Hingga alam raya terselimuti harum dan warna
Yang tak pernah diduganya
Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari
Madre (dalam sebuah Resensi) I
Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari
Citra perempuan sebagai makhluk
yang lebih mengutamakan rasa dibanding logika adalah realita yang selama ini
dipandang sebagai bagian dari kodrat perempuan itu sendiri. Letupan emosi, yang
seringkali tak sempat tererupsi dari palung hati, nampak lebih pantas
bersubyekkan seorang perempuan ketimbang
lelaki. Perempuan dan gejolak yang dirasakannya merupakan perpaduan unik yang
tak sederhana untuk dipahami.Paradigma inilah yang kemudian melatarbelakangi
eksplorasi pengisahan perempuan, dan perasaannya, sebagai tambang ide yang
seolah tak akan pernah habis untuk digali dunia sastra.
Menyibak relung hati perempuan
tak ubahnya menjelajah sebuah lorong yang tiada berujung dan tiada berpangkal. Kompleksitas
di dalamnya membawa kita pada titik yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Bagaikan menyusun puluhan puzzles yang
terserak begitu saja, yang bila tertata dengan semestinya merupakan semacam
kode yang akan mengantarkan kita pada rahasia – rahasia yang melatarbelakangi kompleksitas
berpikir seorang perempuan. Rahasia – rahasia perempuan yang melatarbelakangi
kompleksitas berpikir mereka inilah yang berusaha ditelanjangi oleh Dee melalui cerita – cerita pendek yang terangkum dalam sebuah kumpulan
cerita yang Ia anugerahi nama Madre.
Rimba
Amniotik
Tak banyak penulis muda, yang seusia Dee, bernyali untuk menjual idealisme dalam sebuah karya sastra,
dan seolah tak peduli dengan mainstream
yang diusung novelis - novelis lain. Melalui Rimba Amniotik, Dee
dengan percaya diri menyuguhkan gaya penceritaan yang tak biasa berupa dialog
antara ibu dan janinnya,
Tokoh
Ibu yang kehamilannya diceritakan telah menginjak sembilan bulan tengah menanti
kelahiran sang jabang bayi. Mereka,
dua jiwa yang terbalut dalam satu raga, terpisahkan oleh selapis kulit perut.
Namun, bagi Sang Ibu, relasi antara Ia dan janinnya tidak sesederhana dua jiwa
dalam satu raga terpisahkan selapis kulit perut. Jauh lebih kompleks dibanding
itu, keduanya adalah dua manusia yang saling mengandung, Sang Ibu mengandung
janinnya. Di lain sisi Ia dikandung oleh kehamilan dirinya yang menempa Ia
menjadi manusia yang lebih utuh. Embrio kecil itu mengandung jiwanya,
mengemudikan tubuh dan hati, bahkan jiwanya. Begitu pun sebaliknya.
Dari jutaan kata lain yang mampu
mencitrakan sesosok wanita hamil, pilihan Dee
jatuh pada amniotik, lapisan plasenta yang berupa kantung pelindung bayi dalam
rahim. Pemilihan judul Rimba Amniotik,
paduan antara nilai sastra yang kental dan muatan ilmiah yang tak kalah pekat
membuktikan kecerdasan seorang Dee
sebagai penulis yang selalu mampu menyisipkan nilai – nilai science di tiap karyanya.
Tanpa menonjolkan unsur
penokohan, Rimba Amniotik
memperkenalkan tokoh sang Ibu dan janinnya dengan sangat halus. Penciptaan
tokoh Ibu serta percakapannya dengan sang janin -yang sesungguhnya merupakan
imajinasi sang Ibu semata- dibawakan Dee
tanpa penjelasan detail dan gamblang, mengalir begitu saja. Bahkan Dee mencoba memberi ruang bagi pembaca
untuk menerka – nerka hakikat kata demi kata yang ditulisnya, mencumbu karyanya
hingga puas.
Guruji
Adalah Ari, perempuan biasa, tokoh sentral yang secara
tak sengaja bertemu dengan lelaki bernama sama dengannya, Ari di sebuah workshop tentang hipnosis regresi.
Lelaki itu terlihat amat tidak antusias hadir di sana. Beberapa kali Ia nampak
tertidur, limbung karena kantuk. Tak terduga, ketidak-antusiasan itu malah berhasil mencuri perhatian Ari.
Lelaki
itu tampak lebih hidup ketika mereka berkenalan. Tertawa lepas saat mereka menyebutkan
nama yang sama. Waktu membawa keduanya tenggelam dalam lautan perasaan yang tak
sedikit pun ingin mereka lawan. Hingga pada suatu pagi, Ari lelaki pergi begitu
saja, tanpa pesan, seolah ingin mencampakkan segala kenangan yang belum
berakhir, bahkan baru saja dimulai. Ari
mencoba mencari lelaki limbung yang kini sukses menggerogoti jiwanya. Tapi
nampaknya takdir belum berkenan mempertemukan mereka empat mata. Semua tentang
lelaki itu nampak lebih mirip rekaman dan bayangan yang terus mengitari kepala.
Cerita
orang – orang, artikel majalah, dan
carikan surat kabar membawa Ari datang pada Guruji. Guruji, pemilik padhepokan Buddha, yang tak lain adalah
transformasi dari Ari-nya merupakan perjudian terakhir Ari untuk menuntaskan
sisa – sisa perasaan dalam hatinya yang ingin segera Ia akhiri.
Cukup
kontras dengan Rimba Amniotik yang
sejujurnya lebih layak disebut tulisan ringan ketimbang cerita pendek, Guruji menyuguhkan cerita pendek pada
lazimnya. Cerita yang simple, hanya
melibatkan dua tokoh utama namun sama – sama berkarakter kuat. Berlatar sebuah
padepokan Buddha dan segala detailnya, lagi – lagi Dee memberi pembuktian bahwa Ia bukanlah penulis cerita fiksi yang
merangkai satu demi satu peristiwa yang standar – sudah banyak dipakai penulis
lain dan itu – itu saja – dengan cara yang standar pula. Jalan hidup Dee yang sempat mendalami ajaran Sang
Buddha mengantarkannya pada ide cerita berlatar padepokan Buddha, termasuk
penamaan tokoh Guruji, sebuah nama yang sarat nuansa buddhish.
Langganan:
Postingan (Atom)