Pages

Jumat, 30 Desember 2011

pembelaan diri (?) (I)

cemooh kah? bahan bercanda kah? sesuatu yang lucu kah? mengundang tawa kah?
saya sama sekali tidak tahu dan tidak ingin tahu.

Saya memang orang asing yang tidak tahu apapun tentang hidup anda-anda sekalian. Tentang bagaimana anda semua menghabiskan detik demi detik di hidup bersama seseorang yang saya sayangi dalam satu ruangan bernama kelas.
Segala kekecewaan dan ke-tersinggung-an saya, belenggu yang bagaikan tembok besar yang menghalangi saya untuk sedikit mendekat kepada anda-anda sekalian, semuanya mungkin semacam paradigma yang saya ciptakan sendiri, dan kemudian tumbuh mejadi semacam premis yang saya imani kebenarannya, tidak peduli bagaimana paradigma tersebut tertafsir, benar atau salah di mata anda semua.
Bukan salah anda sekalian, mungkin semacam saya yang menggantungkan harapan terlalu tinggi. Berharap kalian memberikan secuil kepedulian terhadap hubungan ini, semacam dukungan moral agar orang yang saya sayangi, yang kalian sebut teman, untuk terus berada di jalurnya, untuk tetap bersama saya.

Saya, sungguh tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun, karena sekali lagi tidak ada yang patut dipersalahkan. Jikapun ada, mungkin itu adalah diri saya sendiri, yang menumbuhkan paradigma versi saya sendiri, tanpa saya tahu bagaimana fakta dan realita yang sebenar-benarnya. Bukankah anda-anda sekalian yang lebih mengerti? Karena anda menyaksikan setiap detil yang terjadi. Sedangkan saya? Saya hanya perempuan biasa yang menggunakan naluri dan mata hati saya. Apakah naluri tersebut benar atau salah, apakah mata hati saya memandang dengan tepat atau sesat, saya sendiri pun sama sekali tidak tahu pasti.
Mungkin, sekali lagi mungkin anda sekalian memandang remeh semua yang saya kritisi. Mungkin anda-anda menganggap tulisan ini sebuah pembelaan diri dari seorang terdakwa. Pendapat yang sah-sah saja anda keluarkan. Meski sungguh, saya sama sekali tidak bermaksud membela diri atau semacamnya. Saya hanya ingin anda-anda mengerti bahwa semua yang selama ini anda tertawakan, anda sekalian jadikan bahan candaan, anda anggap remeh, anda tidak acuhkan, atau mungkin anda jadikan bahan cemoohan sungguh bukan sesuatu yang lucu di mata saya. Jika anda berfikir saya marah, harus saya tegaskan bahwa anda sekalian salah. Saya tidak marah sama sekali, mungkin lebih tepatnya tersinggung. Tersinggung dengan semua celotehan ringan yang mungkin tidak berarti apapun bagi anda sekalian. Dan melalui tulisan ini saya ingin anda-anda paham tentang apa yang benar-benar saya rasakan. Dan selanjutnya mencernanya dengan akal sehat serta kerendahan hati. :)

Minggu, 25 Desember 2011

See Lovingshare on Facebook

Dear readers,
I'd like to inform you that you are also able to keep in touch with lovingshare by your facebook acount.
You just need to open the link bellow
http://www.facebook.com/pages/LovingShare/234446013282739
then be the followers of that group.

I'll share lovingshare's recent update there. :)

Recomended Site

Hai :)
Kesibukan kelas 3 yang cukup menyita waktu. Otomatis saya jadi jarang nulis. Nah, untuk teman-teman yang sering ngintip Lovingshare tapi postingnya masih itu-itu aja saya bakal ngeshare beberapa alamat blog, tumblr, atau apapun itu yang recomended.

1. Mbak Rizkya's Tumblr


Nama panjang pemilik tumblr ini adalah Rizkya Ratri Winaswari ( the pict on left side is her) . Mbak Rizkya ini adalah kakak angkatan di SMAN 3 Yogyakarta. Sebenernya 3 tahun di atas saya, tapi berhubung pas SMA Mbak Rizkya ikutan student exchange selama 1 tahun ke Amerika jadilah sekolahnya mundur setahun dan jadi 2 tahun di atas saya. Saat ini Mbak Rizkya kuliah di UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) jurusan Hubungan Internasional. Dan sekarang dapet beasiswa buat exchange ke China selama kurang lebih satu tahun. Bikin envy deh pokoknya.

Tumblr yang satu ini didominasi share-share yang simple tapi ngena. Ditambah lagi kebanyakan cerita dari penulisnya bersetting di negeri China nun jauh disana. Menggelitik nan asyik. Selamat membaca :)

 
2. Audi's Blog

Blog-nya Audi, Carla Audina Galeshita. Audi ini adalah teman se-angkatan walaupun beda kelas. Sangat nyastra dan banyak kata-kata indah bertaburan, secara yang punya adalah redaksi PROGRESIF!, majalah sekolah SMA saya tercinta yang keren banget (bukan promosi, tapi beneran)

Mungkin si empunya juga sedang sibuk belajar kayak. saya, tapi kalo berminat belajar sastra, di arsip blog yang satu ini bakal ada banyak banget karya yang layak dicicipi.
  
3. Santi's Tumblr

Santi adalah ketua OSIS sekolah saya tahun lalu. Sekarang Santi ada di Amerika, ikut semacam student exchange yang sama kayak Mbak Rizkya. Tumblr-nya Santi lebih mirip kumpulan cerita-cerita unik yang sederhana dan sering kita temui sehari-hari, tapi dikupas dari sisi pandang yang berbeda. Berhubung the owner sedang di Amerika, jadi akhir-akhir ini postingnya using English. Pas banget buat yang pengen
blogwalking sekaligus belajar bahasa Inggris.

Santika Nindya Hapsari Wibowo's pict is on the left side.



Selain 3 Recomended-Site tadi di posting ini saya sekaligus promosi beberapa blog yang menunggu untuk dijamah.

Happy blogging :3

Sabtu, 17 Desember 2011

Jawab untuk Sebuah Tanya (I)

Bukan mauku tersakiti, untuk kemudian menangis karena luka. Satu yang kumaui dari itu semua adalah karenanya au lebih banyak menyingkap makna. Karenanya aku lebih banyak bertanya-tanya. Dan karenanya pula aku lebih dan lebiih banyak lagi mengerti.

Luka yang kalian gores sepenuhnya menyakiti. Aku menangis dengan kerasnya. Tidak terbendung.
Sakit itu pasti, kalian pun mengerti.
Tapi yang hanya aku sendiri yang tahu; aku malu.
Malu pada diriku.

Semua orang bilang; masa putih abu adalah yang terindah. Yang hanya sekali. Yang di dalamnya orang-orang belajar tentang ilmu bersahabat. Tertawa. Menangis. Rapuh. Berdiri. Bersama - sama dan saling bergandeng tangan. Aku tetap tidak mampu memahami. Buatku sama saja. Mereka yang di sekitar hanyalah topeng-topeng berkaki yang dapat semaunya berjalan kesana kemari. Sedikit tawa yang kadang kuanggap lelucon Tuhan untuk menghapuskan luka yang telah tinggi membumbung. Beberapa teman yang setia. Mungkin banyak orang baik disini yang belum aku temui, tapi yang kukenal baik, sebagian besar hanyalah topeng kepalsuan. Tak ada tawa yang membahana, lebih banyak senyuman haru; sisanya adalah perjuangan. Berjuang untuk tetap bernafas di kota pikuk yang di dalamnya hidup manusia - manusia tangguh.

Dimana, dimana tawa dan canda membahana yang mereka ceritakan?
Mana, mana yang mereka bilang persahabatan?

Aku semakin tak mengerti.

Kucoba Mencari Jawab

Mungkin, marah bukan diksi yang tepat untuk melukiskan aku setelah segala sikap yang beratasnamakan ke-badmmod-anmu. Kesal pun tidak sepenuhnya bisa mewakilinya. Aku hanya sedikit kecewa dan atas kekecewaanku itu kamu tidak perlu bertanggung jawab sama sekali. Bukan salahmu meski kamu menyakiti, karena setidaknya luka yang kau gores tidaklah terlalu dalam. Aku pun tak sudi dipersalahkan. Apakah salah mengharap engkau mau merangkulku dan menganggapku sahabat? Tak ada yang sepenuhnya salah, tak ada pula yang mutlak benar. Tidak ada yang kupandang pantas dipersalahkan.
Hanya mungkin aku terlalu berharap. Semacam menyusun puzzle di atas meja yang besar, dan engkau menendang meja itu. Tidak terlalu keras memang, tapi getaran yang ditmbulkannya meluluh-lantakkan puzzle yang aku ciptakan. Bukan maksudmu merusak puzzleku, sebagaimana bukan maksudmu mengahncurkan harapku.

Do A Best Friend Exist?

Do A Best Friend Exist?
Apakah sahabat sejati benar-benar ada?

-Prolog-
Seminggu ini Tuhan benar-benar menguji hamba-Nya yang mungil ini untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana yang ia ciptakan sendiri, dan harus ia temukan sendiri jawabnya. Sebuah tanya yang lahir bukan karena ia tidak percaya tentang indahnya persahabatan. Sebuah tanya yang mungkin ada karena ia hanya sedang meragu tentang takdirnya sendiri, tentang sahanat sejatinya.
Sedari pertama Tuhan menakdirkan aku menjadi manusia yang menghirup hawa dunia fana, aku memang bukan seorang sahabat sejati. Bukan manusia yang menghabiskan detik demi detik hidupnya untuk tertawa bersama, berbagi cerita dengan orang-orang yang saling menganugerahi gelar sahabat satu sama lain. Bukan, bukan karena aku makhluk introvert yang lebih nyaman menghabiskan waktu seorang diri, membisu tanpa kata, berdiam tanpa canda. Hanya semacam belum merasa pantas untuk mengalungkan medali bertuliskan sahabat kepada mereka, yang selama ini lebih layak disebut teman. Ya, teman.
Barangkali ada baiknya memahami secuil beda antara sahabat dan teman. Sahabat akan sangat merasa bersalah ketika Ia menyakiti sahabatnya, untuk kemudian datang dengan sebuah permintaan maaf. Di lain pihak, seorang teman sangat berhak menyakiti. Menyakiti.
Kata-katamu di saat mood hatimu sedang tidak baik mungkin terdengar biasa, sangat biasa, kecuali bagi seseorang yang sudah beberapa minggu menuliskan namamu di sebuah ruang kecil di hatinya, dan bersiap mengukir nama-namamu sebagai sahabat. Mood mu yang adakalanya sangat tidak terkendali sekalipun, itu semua wajar. Sangat wajar bila itu bukan bagi mereka yang sangat berharap kamu akan menjadi salah satu bagian penting hidupnya dan mengisi relung harinya dengan gelak tawa.
Bicara semaumu, menggumam tanpa peduli perasaan seseorang yang dengan sangat lembut menyapamu, pergi dengan gusar, atau segala yang kamu perlihatkan di hadapanku atas nama badmood, semua itu mutlak hakmu sebagai manusia yang hidup, memiliki mulut untuk bicara-meski itu hal yang menyakiti-, memiliki kedua kaki untuk sekedar meninggalkan sosok di depanmu.
Serta merta aku pergi dan merapuh diri. Bila engkau berkenan menyelinap ke dalam hatiku saat itu juga, lihatlah namamu kububuhi tinta merah dengan tanda silang yang besar, sangat besar. Dan bila Tuhan mengizinkan, biarlah aku tarik lagi semua doaku yang tulus tentang mimpi-mimpi besarmu.

Minggu, 06 November 2011

sampai jumpa pekan depan :)

Menjelang senja di hari minggu. Seperti apa yang saya janjikan, blog ini akan ter-update setiap weekend. Di penghujung Minggu kali ini, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman yang sudah menyempatkan diri mengunjungi blog abal-abal ini.
Semoga blog ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Untuk Minggu depan, insyaAllah saya akan menge-post artikel tentang dunia pertelevisian Indonesia dan satu tema lain, Oil and Gas For Our Future.

Maaf jika Minggu ini posting didominasi curhatan pribadi, semoga pekan depan saya mendapatkan banyak kesempatan untuk menulis lebih banyak. :))

Sampai jumpa pekan depan!

:3

 Ada saatnya kita harus menyayangi orang-orang yang dibenci khalayak hanya karena mereka sangat menyayangi kita sehingga mereka berhak mendapatkan hal yang sama :)

  
picture by : sahidblackred.blogspot.com

langkah yang salah

Langkah besar yang salah, salah
Mengutuk diri tentu bukan jawab
Bukankah untuk menuju suatu jalan yang benar ada kalanya kita harus beberapa kali melangkahkan kaki menuju arah yang salah? Untuk kemudian menyadari suatu jalan yang benar, dan berjuang sangat keras agar dapat menggapainya.

picture by : mbi9.wordpress.com

Sabtu, 05 November 2011

Membiru (3)

2 sebelumnya hanyalah prolog,

Iya, aku egois. Aku akui keegoisanku yang jelas tersingkap di mata kalian.
Harusnya malam itu aku segera pulang, menghargai seseorang yang sudah bersedia melawan hujan hanya untuk membawaku pulang.
Aku akui aku anak kecil yang egois, tapi maaf keegoisan itu bagaikan pilihan yang tak memberiku kesempatan untuk memilih. Maaf karena keegoisan itu adalah jalan yang harus kuambil demi kalian. Jalan yang harus kuambil demi mimpi besarku.

Aku hanya tidak ingin dibatasi
Aku hanya tidak ingin terbatasi
Hanya untuk satu hal itu, tolong jangan batasi aku
Jangan batasi segala perjuanganku menggapai mimpi besarku.

Membiru (2)

Kakak saya sedikit kesal, terus memutuskan main ke kost salah satu temannya. Ya sudahlah itu sama sekali bukan esensi yang akan saya bagi.

Bimbingan berjalan lancar hingga beberapa saat sebelum Mas Tentor menutup pembelajaran kala itu, ponsel saya berdering. Ternyata Papa saya telepon, ya dengan sedikit kesal. Tapi sama sekali tidak menganggu konsentrasi pada optik fisis
Perjalanan pulang ke rumah, di atas ojek, gerimis rintik-rintik, dan saya baru sadar kalau keganjalan baru saja terjadi. Papa menutup telepon sebelum saya selesai bicara dan memberi salam penutup. Sekejap kemudian mata memanas dan butiran - butiran kecil berlomba meloncati mata.

to be continued

Jumat, 04 November 2011

Feel The Blue

Takut. Kesal. Marah. Curiga. Jenuh. Lelah. Kecewa. Sedih.

Kalau kamu enggak jujur, aku harus percaya kepada siapa?

Senin, 31 Oktober 2011

Dear Readers

Being a 3rd-grader. Fighting. Busy. Focus. I'll reach this site on weekend. Sorry.

Minggu, 30 Oktober 2011

Jaket Kuning (2)

Mimpi, yang kadang terlalu besar untuk sekedar kita genggam bersama. Yang terlalu tinggi untuk kita gapai.

Sekedar memikirkannya pun aku durjana, antara air mata keharuan yang membuncah haru dan tangis kecewa yang bisa saja mengakhiri mimpi-mimpi kita. Aku mengerti seberapa cepat engkau berlari, paham betul seberapa tangguh engkau berdiri. Lompatanmu mungkin tak dapat meraihnya, tapi bolehkah aku naiki pundakmu yang bidang untuk sekedar meraihkannya? Meraih mimpi kita yang kini tengah dipeluk Yang Maha Bijaksana.
Aku pun tak kuasa berlari sendirian untuk mengejar apa yang kuingini, maka biarkanlah aku merengkuh datarnya punggungmu. Berlarilah sekencangnya, bawa aku ke mimpiku dengan kedua kakimu yang seakan tak mau berhenti.

Bersama membuat segalanya terasa jauh lebih mudah :)

Sabtu, 29 Oktober 2011

Jaket Kuning (1)

Ini bukanlah sebuah kisah klasik tentang Putri Cantik dan Pemuda desa yang berakhir bahagia. Bukan pula alunan lagu yang menyirat kesenduan. Bukan celoteh yang selalu kuumbar di setiap pertemuan kita, yang sederhana. Bukan, karena ini tentang sebuah mimpi. Mimpi yang kaurajut, yang atas seizin Tuhan akan menjadi mimpi kita.
Lihatlah ke sekitar, dimana setiap dedauan menari berirama. Rumput bergoyang atas takdir-Nya. Bunga-bunga yang mekar, merpati terbang bebas mengangkasa. Berpasang-pasangan. Indah.
Lihatlah ke sekitar yang lebih dekat, mereka bergandeng tangan. Merajut asa dalam selubung cinta. Mereka bisa. Bagaimana dengan kita?

Aku hanya memandang ke sekitar kita, lalu mendapati mereka yang bersatu padu mengenggam mimpi. Bukankah kita bisa melakukan hal yang sama, bahkan yang jauh lebih hebat. Bukankah kita pejuang yang lebih hebat, yang akan menggenggam mimpi kita lebih erat dan erat.
Aku mempercayai semangat kita, aku percaya Kuasa-Nya, dan aku percaya kau ada mengenggam jaket kuning itu, bila tiba saatnya :)

Selasa, 25 Oktober 2011

Yang Mujur yang Tergusur

Carut marut yang terjadi di dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II memang telah menjadi rahasia umum. Berawal dari diangkatnya wakil - wakil menteri yang dinilai banyak pihak sarat nuansa politik, kasus korupsi Proyek Pembangunan Wisma Atlet yang berhembus beberapa waktu lalu semakin mencoreng nama Presiden SBY dan kabinet.
Hukum dan Penegakan HAM, salah satu bidang yang menjadi andalan Kabinet Indonesia Bersatu pertama dan diharapkan dapat kembali mencetak prestasi besar lewat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, pada kenyataannya tak lagi pantas diacungi dua jempol. Mencuatnya berbagai macam kasus hukum yang masih menggantung hingga saat ini memupus harapan rakyat yang besar tentang kemajuan di bidang hukum yang pada awal pemerintahan SBY sudah di depan mata.
Tidak hanya bidang hukum yang prestasinya kian melorot bila dibandingkan dengan kabinet jilid lalu, citra pribadi SBY sebagai pemimpin yang anti korupsi pun mulai luntur. Disadari atau tidak, terungkapnya kebobrokan Partai Demokrat, yang diketuai SBY, melalui pengakuan Nazaruddin Iskandar berhasil membentuk opini publik bahwa SBY tak becus memimpin partainya sendiri. Bila menjadi Pimpinan sebuah komunitas massa bernama partai saja tak sanggup, bagaimana mampu menjadi pemimpin sebuah negara berpenduduk 200 juta jiwa yang bila ditilik dari jumlah kepalanya jauh lebih banyak dibanding sebuah partai, tanya yang menggelitik kalbu sebagian besar kalangan.
Seolah tak ingin tinggal diam dan membiarkan opini publik semakin berkembang, reshuffle kabinet menjadi jawaban SBY atas keraguan rakyat pada kinerjanya. Namun sayang, langkah perombakan kabinet yang di dalamnya tersimpan asa jutaan rakyat kita lagi – lagi tidak mampu memuaskan keinginan rakyat yang rindu pemerintahan yang jujur, adil, bersih, bertanggung jawab dan bermatabat, sesuai cita – cita luhur pancasila dan UUD 1945.
Langkah reshuffle yang diharap dapat mengembalikan SBY dan kabinet keep on track, berujung pahit dan tak memihak kepentingan rakyat. Bagaimana tidak, sejumlah menteri yang terseret kasus dan kementriannya bermasalah dipertahankan atas nama kepentingan politik pribadi, sedang menteri lain yang berkinerja baik digusur agar posisinya dapat diduduki pihak – pihak yang banyak berkontribusi mendukung SBY. Belum lagi pengangkatan wakil menteri yang kian sarat nuansa politik tanpa bisa dipertanggungjawabkan manfaatnya. Sungguh Ironis. Bila demikian, apalah beda Rezim Reformasi yang digawangi SBY bila dibanding Rezim Orde Baru milik Pak Harto? Toh, keduanya sama saja, lebih menjunjung kepentingan kolega penguasa yang berjumlah segelintir kepala bila dibanding nasib ratusan juta rakyat.

Tekesan Ala Kadarnya
Tak berhenti pada permasalahan-permasalahan di atas, citra lain yang jelas tergambar pada reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II adalah pemikiran yang tak matang dan ala kadarnya. Bagaimana bisa seorang Jero Wacik, yang dua periode ini bergelut di bidang pariwisata dan budaya sekejap mata diberi kepercayaan untuk mengemban amanah di energi dan sumber daya, Marie Elka Pangestu yang lama berkutat di bidang perdagangan sontak dipercayai di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Meski mirip dalam nama karena kedua bidang berkutat dengan ekonomi, namun tentulah petinggi-petinggi kita yang banyak berilmu mengerti bahwa ilmu pendekatan yang digunakan pada kedua bidang tersebut jauh berbeda karena ekonomi perdagangan berkaitan dengan ekonomi makro sedang kekuatan sektor ekonomi kreatif lebih erat dengan ekonomi mikro. Keduanya adalah dua cabang ekonomi yang berseberangan sehingga akan lebih bijaksana bila professional yang dimiliki negeri ini tetap berkonsentrasi dan diamanahi sesuatu yang benar-benar merupakan concern-nya selama ini.

Yang Tak Mujur yang Tergusur
Beberapa menteri yang didepak dari kabinet belumlah tentu mereka yang tak berkinerja baik. Bisa jadi tergusurnya nama mereka dari kabinet didasari oleh kepentingan kontrak politik sebagian kecil pihak. Sebut saja Fadel Muhammad yang selama ini kementriannya adem ayem namun harus angkat kaki dari kabinet karena kursinya telah ter-booking pihak lain yang mungkin lebih berkontribusi pada kepentingan penguasa. Mengapa harus Fadel? Tak ada yang tahu karena barometer yang digunakan bukanlah kinerja. Perombakan kabinet yang demikian inilah yang kemudian saya citrakan dengan istilah yang tak mujur yang tergusur.

Essay abal-abal ini dibuat karena Bu Suji. Isinya memang sangat subyektif, tapi ya itulah yang ada di otak saya tentang reshuffle. Bagi yang tidak nyaman dengan tag, boleh untag yaa. Sebenernya tujuan tagging adalah memberi sarana untuk teman-teman yang suka nulis untuk share karyanya, dan sedikit share opini saya ke teman-teman generasi penerus yang hebat!
At least, mungkin di konteks reshuffle ini Pak Beye minus, tapi di lubuk hati paling dalam saya meyakini bahwa sikap beliau yang kurang 'sreg' di hati rakyat kali ini sebenarnya hanyalah akumulasi dari tekanan dan intervensi berbagai pihak. Di luar itu semua, selamat berkarya bagi tanah air tercinta, Pemuda Indonesia Penerus Bangsa!

Minggu, 23 Oktober 2011

Hello, I'm Back!

Sorry for leaving this blog for nearly a month. I did so many thing to prepare national examination next April and SNMPTN ( it's such a test for entering college ). Sorry :(
However, I promise to keep posting as often as I can :)

Jumat, 26 Agustus 2011

cerita

24 Agustus lalu adalah hari ulang tahun saya ke-17. Seisi rumah sibuk, bukan untuk perayaan ulang tahun sih, tapi hari itu adalah batas pengumpulan lomba menulis cerpen SOLOPOS. Karena karyanya sendiri dibikin sangat insidental, alhasil pengumpulannya juga sedikit kesusu.
Nah, demam lomba cerpen tidak hanya menjangkiti saya, tapi juga Mama saya. You should know that she is crazy about reading. Mama ikut buka-buka kumpulan cerpen Lomba Menulis Cerpen Remaja 2010 yang saya fotokopi dari salah satu teman.

Mama : Ini yang Dalam Penjara Kata ceritanya lebih bagus, tapi kok juara dua ya?
Saya   : Soalnya ceritanya gampang ditebak, Ma. Kalau kata Bu Mamiek, guruku, cerpen buat lomba itu harus nggak ketebak endingnya.
Mama : Oooh
Saya   : Paling apik yang mana, Ma?
Mama : Iki bacanya belum selesai.
Saya   : Baca yang Cerita untuk Ayah. Menurutku itu paling bagus.
Mama : Lha kenapa ?
Saya   : Soalnya ceritanya itu punya jiwa, jadi pembaca bisa hanyut dan benar-benar terbawa. Seolah-olah beneran ngrasain.

"Cerita yang baik tidak hanya memikat pembaca dengan keelokan kata dan keindahan cerita. Cerita yang baik adalah cerita yang memiliki jiwa, sehingga tiap hurufnya mampu merasuk ke dalam sukma pembacanya."

I grab the picture from asepd.wordpress.com

Love,
Dhani Puspita

tak berjudul

agak nggak pede dengan foto profil blog yang dulu.
buka - buka pictures galery dan akhirnya menemukan foto unyu ini.


Taken by Me, di sela - sela kesibukan Panitia Angkringan Budaya 2010. Foto paling artistik yang pernah saya jepret sendiri.

Kamis, 25 Agustus 2011

17th

I got my KTP this afternoon, after finishing Dhuhur Pray. I wasn't as exciting as the day when I had to take a blue-backgrounded photo for filling KTP making's requirement. Well, being 17 y.o girl won't be as simple as I had expexted before.

MENUA

Menua
Tujuh belas
Tujuh sebelum dua puluh empat
Sepuluh sebelum dua puluh tujuh

Bagaimana bila secepat kilat aku menua
Hingga kau tak lagi terpesona
Bagaimana bila bibirku tak semerah dulu
Hingga dirimu tak sudi mencumbu

on our mind :)


her  : “Dia nggak jahat, Cuma sedikit mengesalkan. Ya, mengesalkan.”
me   :“ Dia tidak membencimu, hanya sedikit mengacuhkan.”

Two girls who cares of each other. They just too shame to express their careness.

Selasa, 23 Agustus 2011

Senja untuk Laluna


        Prama
Harus kubilang aku suka hujan. Rintiknya yang gemericik, wangi tanah yang basah, dingin yang menusuk – nusuk sumsum tulang, pelangi yang berdendang usai hujan dan tentunya Shinta.. Shinta dan aku amat mencintai hujan. Sangat. Ya, Shinta, mantan kekasih yang selalu setia menghabiskan tiap episode hujan bersama lelaki kumal macam aku. Rambutnya yang basah tersapu rintik hujan, Senyum manisnya saat kami mendapati pelangi tengah menari. Semua tentang hujan. Aaah Shinta. Apapun itu, hujan memang indah, dan tiap perempuan yang mencintai keindahan barangkali sama dengan Shinta. Mencintai hujan.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sepoi angin membelai kami dalam tangis haru. Semua manusia di tempat ini terlarut dalam do’a yang disampaikan Ustadz Sanusi sore itu. Beberapa terisak, sebagian lainnya mencoba tersenyum, namun kecut. Kupikir untuk menyembunyikan luka kehilangan. Mas Prama terduduk lesu di atas tanah yang masih basah. Menatap pusara dalam kehampaan.
Satu demi satu mulai meninggalkan tempat ini. Mungkin mereka tak suka dengan wangi kamboja yang semerbak. Atau ingin menghabiskan senja di tempat lain. Entahlah, yang kulihat hanyalah Mas Prama masih tetap setia menemaniku disini. Mulutnya sibuk  melafalkan tiap – tiap ayat di surat Yaasin.
“ Pram, pulanglah Le! Ini sudah mau maghrib lho. Tak baik surup – surup kita ada di tempat seperti ini ! “ Bapakku memotong lantunan Yaasin Mas Prama yang sungguh menentramkan jiwaku.
Bapak adalah manusia yang nampak paling tegar di antara semua kerabat yang tadi sempat hadir di tempat ini.Di pelukannya perempuan paruh baya yang selama ini kupanggil Ibu masih setengah terisak sepanjang upacara, namun Bapak sesekali tersenyum pada mereka yang datang menyampaikan duka cita.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞


Berbeda dengan Mas Prama dan Shinta, dari dulu aku suka senja. Langit yang memerah, garis – garis di cakrawala, dan perpisahan kita dengan mentari yang di dalam setiap senja ada janji setia. Ya, bagiku tiap senja menyimpan janji sang mentari. Saat senja mentari seolah berpamitan padaku untuk sekejap pergi menyinari belahan dunia yang lain, lalu aku menangis karena takut Ia tak akan datang lagi untuk menerangi. Karenanya mentari berjanji akan datang lagi tepat waktu fajar, sama seperti hari – hari kemarin. Janji yang hingga kini tak pernah ingkar, bukan ? Begitulah adanya bagiku.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞


“ Hei cantik. Kau harus lihat pelangi itu” Mas Prama berujar
“ Aku melihatnya.”
“ Kau suka, bukan ? Aku yakin kau suka, Lun. Pelangi itu cantik, sepertimu. Tapi masih lebih cantik kau sedikit laah. Hahahaha  “
Aku hanya mengangguk pelan. Mas Prama masih terkekeh. Huh, dia pikir apanya yang lucu. Aku tahu aku tak cantik. Tapi kalau toh dia anggap aku cantik, aku lebih suka disamakan dengan kecantikan senja yang selalu setia. Hei Mas, kau tahu bukan pelangi hanya kadang saja menghampiri?  Seringkali, telah kita habiskan satu episode panjang hujan, dan dia tak juga nampak membayar penantian kita. Berbeda dengan senjaku yang tak pernah ingkar.
“ Mau kuantar pulang sekarang ? Pelangi kita sudah hilang, Lun ! Kalau kita terus disini aku takut cantikmu yang secantik pelangi itu ikut – ikutan hilang. Ayo, sayang ! “
“ Boleh. “ jawabku singkat.
Aku hanya terdiam saat tangan Mas Prama menarikku masuk ke mobil meski sebentar lagi senja yang kunanti datang. Dan begitulah tiap episode hujan kami lewatkan. Senyuman dan tawa Mas Prama selalu mampu membunuh kerinduanku untuk menghabiskan senja bersamanya. Tak ada sedikitpun niat untuk bercerita secara eksplisit pada Mas Prama tentang hasratku pada senja. Bukankah bahasa tubuh dan isyarat telah kutampakkan? Harusnya Ia mengerti.
 Ya, dia Mas Prama. Prama Sadewa. Dia adalah kekasih yang tak lama lagi akan menjadi pasangan hidupku. Mas Prama mencintai hujan, termasuk semua memori tentang hujan yang telah dilaluinya bersama Shinta, mantan kekasih Mas Prama yang amat cantik itu. Mereka sama, mencintai hujan. Mungkin Mas Prama pikir aku sama juga dengan Shinta dan dirinya. Namun kalian tahu, aku dan senjaku berbeda.
Hingga saat ini aku mengerti Mas Prama masih sangat menyayangi Shinta. Tiap hujan datang dengan lantangnya Ia bercerita tentang hujan, tentang pelangi, dan yang pasti tentang Shinta. Tak sekalipun aku cemburu karena dari situlah aku amat mencintai Mas Prama dan kesetiaannya pada Shinta yang telah kuuji. Tentang cinta Mas Prama untukku, semua kuserahkan pada waktu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Senja ini aku habiskan sendirian. Merenungi segala yang terjadi antara aku dan Mas Prama. Esok pagi Ia akan melamarku. Itu artinya tidak lama lagi kami akan menjadi satu, dan aku akan kehilangan waktuku bersama senja yang amat kucintai ini, lalu menghabiskan hidup bersama Mas Prama, menanti – nanti hujan dan pelangi.
Mentari baru saja mengucap kata pamit dan janji setianya untuk kembali esok pagi. Episode senja kali ini telah usai dan aku putuskan untuk menekuri jalanan pulang ke rumah. Mempersiapkan semua untuk esok hari. Mobil butut ini berjalan pelan membelah kota, namun pikiranku melayang lagi pada Mas Prama dan semuanya.
Akankah suatu hari nanti Mas Prama mengerti aku suka senja? Atau haruskah kuceritakan saja saat ini padanya? Ah, tidak, tidak, harusnya Mas Prama telah mengerti itu. Berapa tahun kami habiskan bersama ? Berapa kali aku menunjukkan bahasa tubuh dan raut muka ketidaksukaanku pada hujan dan kecintaanku pada senja yang indah? Sudahlah Luna, sudahlah.
Jalanan kota makin semrawut rasanya saat ponsel kesayanganku bergetar. Satu pesan baru dari Mas Prama. Pikiranku benar – benar terbagi, membalas pesan Mas Prama, lamunan tentang hujan dan senja, dan yang terpenting adalah konsentrasi pada kemudi mobil ini. Tapi sial, mobil ini hilang kendali.
Aku baru saja menyelesaikan kata pertama untuk membalas pesan Mas Prama ketika sontak kudengar klakson yang panjang dari truk pengangkut barang. Semua berlalu begitu cepat. Yang  mampu kutangkap hanya kerumunan manusia yang memandangiku penuh iba, lalu tercium bau anyir darah yang segar. Semua berakhir dengan gelap. Gelap yang tiada lagi berujung.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

“ Bapak dan Ibu tunggu kamu di mobil saja ya . Cepatlah!“
Lagi, bapakku meminta Mas Prama pulang. Keberadaannya disini tak akan pernah membawa aku kembali ke dunia yang fana’ ini. Tapi toh Mas Prama tak bergeming, tetap bersimpuh di tanah basah yang di dalamnya jasadku terbujur kaku.
“ Pulanglah, Mas. Kau harus pulang. Aku tahu jalanmu masih panjang. Berjuanglah untuk semuanya. Tinggalkan aku disini. “ aku mencoba berbisik
 Tak lama berselang Mas Prama mencoba berdiri, melangkah keluar dari area pemakaman ini dengan tegar. Aku mengantarnya dengan tatap haru, tak berubah dengan empat tahun lalu ketika kami meninggalkan tempat ini usai pemakaman Shinta,  mantan kekasih Mas Prama yang juga sahabat terbaikku.
Senja ini memang terasa berbeda dengan kehadiran Mas Prama di sisiku. Melantunkan ayat – ayat suci yang kuharap dapat memudahkan jalanku menghadap Sang Khalik.
Deru mobil Mas Prama terdengar makin jauh. Pergi meninggalkan tempat ini. Dan aku tahu aku pun harus segera pergi. Memenuhi panggilan Tuhan dengan sukacita, karena senja ini telah kuhabiskan bersama Mas Prama. Meski terpisah dimensi yang berbeda, aku tak peduli. Yang kutahu senja ini untukku. Senja untuk Laluna.         

Mas Bram dan Sajak Penyambung Rindu


Kuncup – kuncup mawar di taman belakang baru saja mekar. Belum sempurna merekah memang, namun semerbak wanginya cukup menggoda syaraf penciuman. Duri – durinya yang tajam tertancap tegar, tak tergoyahkan. Aku membenamkan jemari di tanah gembur yang dari sanalah mawar – mawar elok itu bermuasal. Mawarku, merekahlah pagi yang akan datang, saat keelokanmu telah saatnya kujadikan persembahan, aku berbisik pada Tuhan.
Pagi itu, suatu pagi yang biasa saja. Bapak menyimak warta pagi dari radio tepat saat jam dinding di ruang tengah menunjuk angka enam. Aku sibuk mematut diri di depan cermin sebelum berangkat mengajar. Semua berjalan seperti biasanya hingga pewarta pagi di radio itu membacakan berita penutup yang tak kunyana. Kedatanganmu.
“Bisa besarkan suaranya, Pak?”
”Ini udah pol. Bapak yang sudah ringkih aja denger, masak kamu yang masih perawan ayu nggak krungu? Apa pengen takbawa ke THT?” Bapak terkekeh
Aku tidak tertarik untuk menanggapi humor segar yang dihembuskan Bapak. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada suara pembaca warta pagi itu. Putra daerah kita, Brama Narendra, yang baru saja menyabet gelar terbaik pada kompetisi astronomi mahasiswa di Belanda dijadwalkan tiba di Yogyakarta esok pagi, begitu katanya. Mas, benarkah kamu pulang?
Mawar merah yang tertanam di halaman belakang telah sempurna merekah. Tuhan menyambut mesra  doaku untuk mawar – mawar elok ini. Tujuh  tangkai mawar merah kini berjajar rapi dalam genggaman. Kuputuskan untuk tidak pergi mengajar pagi ini demi rindu hati yang tak lagi dapat diredam. Aku harus menyaksikan sendiri  bagaimana kakimu kembali berpijak kembali di kota ini. Harus.
“Apa benar pagi ini pesawat dari Jakarta yang membawa Brama Narendra mendarat di Yogya, Pak?” tanyaku pada salah satu petugas di bandara
“Maaf sekali, saya nggak tahu pasti mbak. Tapi dengar – dengar sekitar jam sembilan. Mbak sendiri dari media mana? Mohon menunjukkan kartu pers di sebelah sana kalau mau meliput kedatangan beliau.”
Aku tertunduk. Lesu. Kartu pers, benda yang pertama kali Ia tanyakan. Haruskah aku, kekasih Mas Bram sedari SMA menunjukkan tanda pengenal khusus untuk sekedar menyaksikan kedatangannya.  Tidak adil rasanya bila aku harus dipersamakan dengan para pemburu berita yang sama sekali tak tahu masa lalu Mas Bram.
Butiran – butiran bening yang hangat meronta ingin meloncat keluar dari pelupuk mataku. Kuremas tas kumal yang tergerai di pinggang. Beberapa wanita saling berbisik tentang kedatangan Bapak Walikota untuk menyambut Mas Bram dan rombongan. Sebegitu besarnyakah namamu kini, Mas sehingga Walikota pun meluangkan waktu untuk menyambutmu?
Jantungku berdegup semakin kencang mendengar deru pesawat yang kian silih berganti. Tepat pukul sembilan lebih delapan sosokmu tertangkap dari kejauhan. Kau tak berubah, Mas.
 Peluh sebiji jagung mengalir deras, mungkin saja mereka bersenyawa dengan cairan bening yang semakin meronta di pelupuk mataku. Aku tak peduli, terus  kucoba menembus kerumunan. Namun, sedepan apapun aku berdiri aparat keamanan berbadan tegap membatasi kita. Kulambaikan tangan seraya mengucap namamu. Sekejap engkau menolehkan muka. Tentu kau ingat bukan sapaan sayangku untukmu, Mas Bram. Engkau masih ingat kan mas? Iya, ‘kan? Jika tidak tentu kau tak menoleh mencari sumber suaranya. Aku. Hatiku berdebar amat dahsyat saat kedua mata kita bertemu. Namun sayang seribu satu sayang, sedetik kemudian kau palingkan pandang. Apa kau jijik menjumpai bulir peluhku yang beradu dengan air mata? Tidak, tentu tidak. Bukankah dulu kau usap tiap butir bening yang mengalir dari kelopakku? Atau kaunilai aku tak secantik dulu? Tentu saja tidak. Bukankah dulu kau bilang aku akan semakin cantik saat dewasa nanti? Atau, atau apa Mas? Mengapa semudah itu pandanganmu berpaling?
Lututku melumpuh layu. Bunga mawar yang wangi semerbak kini nampak seperti onggokan duri yang siap menghujam nadi. Haruskah aku meronta di dalam kerumunan untuk menunjukkan kehadiranku, Mas? Haruskah? Jeritanku terhenti di kerongkongan. Tak tega kiranya aku menjatuhkan harga dirimu dengan teriakku yang mengaku sebagai kekasihmu. Aku hanya seorang guru honorer di SD pinggiran berbaju kumal. Timpang denganmu, tamu istimewa yang disambut Walikota.
Aku membolak – balik buku bersampul coklat yang kaubungkus rapi di ulang tahunku ke delapan belas, dua hari sebelum kepergianmu. Ratusan sajak rindu terukir disana, sesuai pesanmu bahwa aku harus semakin giat menulis.
“ Jangan beri aku puisi lagi, Dinda. Tulis saja sajak seperti anak SD kelas satu. Kemampuan linguistikku tak lebih baik dibanding bocah enam tahun. Bila kau tulis puisi semalaman aku tak tidur memikirkan artinya.”
“ Kau harus banyak membaca karya sastra sebelum otakmu meledak karena rumus – rumus fisika, Mas. ”
“ Jadi ilmuwan itu mimpiku, Dinda. Baik – baiklah disini. Jadilah guru bahasa Indonesia yang baik dan wujudkan mimpimu untuk jadi penulis sembari menunggu aku pulang.”
Senyum terkulum di bibirku. Ya aku janji, Mas.
Buku setebal dua ratus halaman ini rasanya tak lagi muat untuk menampung sajak – sajak rindu untukmu. Mungkin, tiap lembarnya takkan sesesak ini bila kau balas e-mail yang selalu kukirimkan semenjak jarak Yogya-Belanda jauh terbentang memisahkan kita. Sikap acuh tak acuhmu setahun belakangan memaksaku terus menulis sajak penyambung rindu yang sejujurnya semakin membuncahkan kerinduan. Tapi, jujur aku suka gejolak ingin bertemu yang menggelitik sukma tiap jemariku menari di atas kertas. Sungguh, aku menikmati setiap rasa yang tercipta karena cintaku padamu. Hancurnya aku tiap menulis sajak rindu yang terus tersambung dengan buih rindu sebelumnya. Juga berpalingnya pandanganmu yang mengoyak rasaku pagi tadi.
 “ Senja adalah saat berpisah bagi bumi dan matahari. Tapi, matahari janji akan datang lagi esok hari. Matahari itu baik ya Mas, selalu menepati janji.”
“ Teori darimana itu, Dinda? Matahari stasioner pada posisinya, sedangkan bumi terus berputar. Bukan matahari yang datang pada bumi, tapi bumi yang menghadap pada matahari.”
Air mataku yang telah terperas habis rasanya belum cukup untuk menangisimu. Semula, kupikir kau akan datang mengetuk pintu rumahku. Menghabiskan senja di teras rumahku sembari menyeruput teh hangat, minuman favoritmu. Mendongengkan aku bagaimana matahari dan bumi bergerak pada orbit edarnya.
Tapi hari ini tujuh hari sudah semenjak kedatanganmu. Mrngapa tak kunjun kau tampakkan batang hidungmu? Sesibuk apakah engkau kini hingga tak sempat menengokku ? Ataukah ada urusan lain yang lebih penting?
Aku membantu Ibu menyiapkan sarapan seperti biasa. Tak kudengar suara pembaca warta pagi dari radio Bapak. Seperti ada yang hilang. Bapak. Kucoba meraih radio hitam yang teronggok di atas televisi, menekan tombol ON.
Putra daerah kebanggaan kita, Brama Narendra menunda jadwal kembali ke Belanda yang sebelumnya direncanakan pagi ini. Kabar yang beredar penundaan ini berkaitan dengan rencana pertunangan Bima dengan kekasihnya yang tidak lain adalah putra Bapak Walikota, Anisa Nareswari.
Aku termangu. Segala menghitam. Gelap yang kusangsikan akan berujung.

                                                                                   

Kado untuk Indonesiaku



Siang itu panas. Rimbunnya pepohonan yang menyelimuti banguna gedung tua bercorak kolonial, tempat kami belajar,  seolah tak mampu menetralisir gerahnya suasana. Sepoi angin yang biasanya datang membelai enggan datang kali itu. Sungguh siang yang berat bagi umat muslim yang tengah berpuasa.
Sosok pria paruh baya itu memasuki kelas. Sepetak ruang dengan meja – meja khas masa pendudukan Belanda yang semula riuh rendah sunyi dalam sekejap. Saya terdiam di bangku kayu pada barisan kedua, menanti sosok paruh baya tadi memanggil satu persatu anak didiknya di kelas itu. Pak Radi, begitu Ia disapa.
Namanya Soeradi Budi, pengajar sejarah yang telah puluhan tahun bergelut dengan satu – satunya mata pelajaran dari cabang ilmu sosial yang wajib dipelajari oleh para siswa ilmu alam seperti saya. Mengapa siswa ilmu alam harus belajar sejarah? Pertanyaan yang tak henti berputar di kepala saya.
Pak Radi memulai pelajaran dengan coretan – coretan kecil di papan yang lebih mirip sebagai garis besar rangkaian peristiwa. Tak lama berselang, beliau mendongeng dengan penuh semangat. Nada bicaranya naik turun, mimik wajahnya berubah – ubah. Sungguh kontras dengan suasana pelajaran sejarah di jenjang kelas yang lalu dimana kami lebih banyak memahami materi dari modul. Siang dan panas dan dongeng tentang perjalanan negeri ini yang sebelumnya saya ekspektasikan akan berlangsung membosankan harusnya menjadi kompilasi penghantar tidur yang sempurna. Namun siang itu berbeda. Magnet yang ditebar Pak Radi lewat cerita – ceritanya benar - benar menghipnotis saya. Terlebih tema yang dibahas siang itu adalah sebuah kontroversi yang hingga kini masih menyimpan misteri hingga kini, G 30 S /PKI.
Kilas kabar yang berkaitan dengan pemberontakan PKI memang sudah seringkali saya dengar. Eyang saya yang merasakan atmosfer pemberontakan PKI kala itu tak pernah berkeberatan untuk menceritakan pengalamannya. Beliau banyak berkisah tentang bagaimana PKI merengkuh rakyat kecil dan berhasil menjadi organisasi massa terbesar di masanya. Tidak lebih. Beruntungnya siang ini Pak Radi menjelaskan seluruh rangkaian kejadian pada masa itu. Menurut beliau, meski pembunuhan terhadap tujuh jendral tak serta merta mempengaruhi sendi – sendi kehidupan rakyat desa, namun imbas dari peristiwa berdarah  tersebut sangatlah besar. Pembubaran PKI dan pembersihan seluruh elemen masyarakat dari unsur – unsur PKI yang digalakkan pemerintah merenggut begitu banyak nyawa. Di bawah komando Sarwo Edi Wibowo, yang tidak lain adalah ayah dari Ibu Negara Ani Yudhoyono, ribuan bahkan jutaan nyawa rakyat Indonesia yang dicurigai telah malang melintang di organisasi ini tak diketahui nasibnya.
Kemarin, tepatnya seminggu setelah pelajaran sejarah yang mengesankan itu, Pak Radi kembali berdiri di depan kelas kami dengan materi baru yang tak kalah menarik, Supersemar. Beliau menceritakan begitu banyak hal yang sama sekali belum pernah saya dengar sebelumnya, seperti Sidang Kabinet yang dibubarkan karena gelombang unjuk rasa rakyat di luar gedung MPR, perginya Sukarno ke kota Bogor bersama Leimena, Subandriyo dan rombongan, kedatangan tiga Pangllima Tinggi AD di Bogor hingga Surat Tugas untuk Suharto yang dikenal dengan nama Supersemar.
Berbeda dengan jam pelajaran - pelajaran lain, dimana saat guru meninggalkan ruang kelas saya selalu segera bergegas meninggalkan kelas untuk segera berlari menuju kelas lain yang harus diikuti, langkah  Pak Radi sama sekali tak membuat saya bergeming dari bangku tempat tubuh ini bersandar. Berbagai kisah perjuangan bangsa ini datang menyergap, membawa jiwa melayang di alam perenungan.
Enam puluh enam tahun memang bukan kurun waktu sesingkat kerlingan mata. Berbagai fase pasca kemerdekaan telah kita lalui sehingga negara ini telah kenyang makan asam garam. Namun apalah arti panjangnya enam puluh enam tahun perjalanan berpayungkan kata merdeka dan predikat sebagai sebuah negara bila dibandingkan dengan berabad jarak yang telah kita lewati sebagai sebuah bangsa, bangsa Indonesia yang telah kokoh berdiri sejak masa lampau?
Kekuasaan kerajaan hindu budha, kesultanan islam, penjajahan oleh bangsa barat, 350 abad menjadi negara jajahan kolonial, pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, masa orde lama, pemberontakan PKI, supersemar, orde baru sampai dengan bergulirnya reformasi adalah puzzle -  puzzle kecil yang membawa kita hingga sampai ke hari ini. Pertumpahan darah, pemberontakan, perebutan tahta adalah bagian yang telah kita lalui untuk menggapai kemerdekaan. Namun segala perjuangan tersebut akan berakhir sia – sia tanpa langkah nyata kita hari ini untuk ikut serta mengemban tanggung jawab sebagai penerus tongkat estafet yang kini berada di pundak kita.
Sejarah masa lampau yang memuat perjalanan bangsa ini haruslah menjadi pelajaran bagi seluruh rakyat agar tak lagi terjajah di tanah airnya untuk kedua kalinya. Sudah semestinya kita menjadi pemilik sah negara kita sendiri. Bekerja dan berkarya untuk bangsa kita, bukan untuk bangsa lain sebagaimana dahulu pernah dialami bangsa ini. Di samping itu, perjalanan panjang Indonesia merupakan motivasi terbaik untuk membalas jasa para pahlawan dan perjuangan rakyat di masa lampau dengan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diraih.
Bila seluruh rakyat Indonesia mencerna perjalanan bangsa ini dengan kemurnian hati, niscaya Indonesia dapat merubah diri menjadi lebih baik. Bagaimana tidak, para pelajar tidak akan enggan belajar bila mengingat pertumpahan darah yang pernah dialami para pahlawannya. Para pejabat negara tak lagi tega menggerogoti uang rakyat saat membayangkan jutaan nyawa melayang untuk menggapai kemerdekaan. Anak – anak bangsa terus menerus berkarya untuk mengisi kemerdekaan yang telah dicapai dengan susah payah sehingga tujuan negara sesuai amanah UUD 1945                tidaklah mustahil untuk diwujudkan.
Bila tujuan UUD 1945 mampu diwujudkan maka perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dapat dilaksanakan karena stabilitas keamanan dan ketertiban telah tercapai, kesejahteraan umum dirasakan oleh semua lapisan masyarakat  serta pendidikan untuk mebentuk Indonesia yang cerdas dapat dienyam oleh warga negara. Cita – cita luhur yang tengah menanti untuk kita jadikan nyata.
Celotehan ini hanyalah sebuah refleksi dari kejadian sepele saat pelajaran sejarah. Sebuah perenungan yang menjawab pertanyaan saya tentang mengapa siswa Ilmu alam harus mendapat pelajaran sejarah. Tentu saja karena dalam sejarah terdapat pelajaran yang dapat diambil kisah masa lampau, agar kita tak mengulang kesalahan yang pernah dilakukan serta motivasi kuat untuk menjadi pribadi yang lebih baik hari ini.

-Indonesia, maaf hari ini saya tidak datang di Upacara Peringatan Hari Ulang Tahunmu yang Ke-66. Semoga kado kecil ini mampu menjadi pengganti ketidakhadiran saya pagi tadi.

Jumat, 29 Juli 2011

ulang tahunmu

Bukan, bukan gelak tawa yang terumbar atau
kue bundar yang terhidang di atas meja
dengan lilin-lilin kecil berwujud angka
di atasnya
Bukan, bukan hingar bingar pesta
Lautan manusia memberi selamat dan
kado indah berpita
Hanya bisikan syukur doa
dan rintik-rintik  air mata
keharuan

Sabtu, 02 Juli 2011

bunga :)

me  : kalo umpamanya aku bunga, aku bunga apa yaah?
you : anggrek bulan :)
me  : anggrek bulan itu kan putih, aku enggak
you : maksudnya itu kan anggrek itu jarang mekar, tapi kalau mekar bagus banget :)
me  : emang aku jarang mekar yaah?
you : kan cantiknya kadang-kadang sayang :)

smilling :)
I forgot how often you did a sweet joke. Never made me laugh as loud, but I'm smilling as sweet as I can.

organizer

I do love writting. Every words seems like a handfull of gold, too meaningful. Many story, articles, essay, poem had been finished, some of them succesfully published too. But I failed to organize them well. Not all of them had been saved on my documents. I do hope this blog will work as a organizer, saving all of mine well; better than all I've ever used before. I do hope :)

first

I've already forgotten how much blog I had ever created. These is the newest one. Nice to write my story here, organizing all I wrote. Hopefully you enjoy this mine. See ya on the next post :)