“ Gimana matematika? Sepuluh opo ora?“
“ Belum sepuluh wong yang macet dua nomer. “
“ Tapi lancar to? “
“ Walaupun sempat ada insiden ganti
LJK tapi Alhamdulilah lancar. ”
“ Lha keno opo LJK-ne? “
“ Lagi ngisi identitas tok saja
dihapus langsung sobek. Kualitas LJK-nya nggak
sebagus biasanya. “
“ Halah Indonesia, Indonesia. Opo yo
duit LJK dikorupsi. ”
We were chosen to born as an Indonesian, to bring some change, not to
complain about our country. @ArdyIhsan
Kicauan dari Ardy, teman seangkatan
saya di sekolah mengingatkan saya untuk lebih nrima menanggapi LJK yang amat tipis dan rawan sobek. Insiden LJK
sobek yang saya alami sudah pasti sangat merugikan karena 5 menit pertama yang
sangat berharga pada mata pelajaran matematika terbuang untuk mengulang
pengisian identitas. Bahkan, ternyata di sekolah saya bukan saya seorang yang
mengalami insiden LJK robek, meski beruntungnya sekolah kami ditunjuk sebagai
sub Rayon sehingga penggantian LJK dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Kualitas LJK yang tidak memadai
bukan satu-satunya masalah lama yang lagi – lagi terulang di pelaksanaan UN kali
ini. Bahkan bisa dibilang cuman sekelumit
kecil dibanding yang lain -karena efeknya yang hanya menimpa siswa yang bersangkutan-,
dimana dilematika lain yang membarengi
Ujian Nasional cenderung menjadikan peserta ujian sebagai tameng bagi
kepentingan pihak – pihak lain.
Maybe it’s easy to complain, to criticize, setidaknya tweet
Ardy tadi semacam warning bagi
saya untuk tidak berceloteh tentang ke-bobrok-an,
ya saya tidak akan mengupas tentang apa yang salah. Saya hanya ingin
memanfaatkan hak saya untuk berpendapat tentang “hak” saya dan jutaan anak di luar
sana, yang akan memulai fase baru di hidupnya sebagai mahasiswa tahun ini.
Tahun lalu, 2011, Kemendikbud
mengintegrasikan seleksi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), yang sebelumnya
dilaksanakan masing – masing instansi, untuk diambil alih oleh Pemerintah
sehingga masing – masing PTN berkewajiban mengikuti serangkaian SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk PTN). Tahun lalu memang bukan pertama kalinya SNMPTN digelar
karena sesungguhnya seleksi nasional ini telah ada sejak eranya Papa dan Mama
saya cari kuliahan. Hanya, mungkin
pada era itu masih bertitel SPMB. Bila dibuat comparison mungkin sistem yang saat ini berlaku hampir – hampir
mirip dengan era Papa Mama saya, memakai dua jalur yaitu PMDK (bentuk masa
lampau dari SNMPTN Undangan) dan SMPB.
Tentang mekanisme jalur masuk PTN,
saya yakin teman – teman 2012 sudah amat paham. Meski mekanisme baru ini kurang
berpihak pada saya pribadi namun sejujurnya ada satu hikmah yang saya petik,
mungkin Pemerintah kita ingin menyentralisasikan seleksi penerimaan mahasiswa
baru semua PTN di bumi pertiwi di bawah bendera Kemendikbud. Gebrakan yang
bijaksana di tengah separation movement
yang baru – baru ini sering terdengar gaungnya.
Namun, ada satu isu yang menyentil tangan saya untuk bicara lewat
deretan huruf yang berjajar di keyboard,
Integrasi nilai Ujian Nasional sebagai salah satu komponen penilaian pada
SNMPTN. Meski tahun ini masih sebatas wacana, yang berarti saya dan teman –
teman 2012 lainnya selamat, namun hati dan logika saya tidak bisa serta merta
menerima bila hasil Ujian Nasional dijadikan salah satu komponen penilaian pada
SNMPTN.
Integritas, Saat Kejujuran Semahal Berlian
Untuk menjadikannya sebagai
sub-judul dalam tulisan ini pun sejujurnya saya harus terlebih dahulu membuka
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ya, integritas peserta UN dalam menggarap ujian
menurut saya masih perlu dipertanyakan sehingga kompetensi siswa tidak dapat
diukur melalui Ujian Nasional.
Ketidakjujuran siswa dalam
mengerjakan ujian memang bukan hal baru di negeri ini. Meski demikian, tanpa
bermaksud membela, amat ingin saya tekankan bahwa ketidakjujuran siswa ini
bukanlah semata keinginan dari sang pelaku untuk berbuat curang. Lebih jauh,
rendahnya integritas siswa merupakan produk dari lingkaran setan yang entah
siapa yang salah.
Disadari atau tidak, UN merupakan
salah satu ajang prestisius yang bukan hanya sekadar penentu lulus atau tidaknya
seorang siswa, UN merupakan salah satu tolak ukur kualitas sebuah sekolah baik
di mata masyarakat luas maupun penggerak pendidikan sendiri. Bahkan, mungkin
pula menjadi barometer berhasil tidaknya proses pembelajaran di suatu daerah
tertentu, yang memiliki kans
tersendiri untuk dijadikan bahan evaluasi tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi. Oleh sebab itu, dapat saya katakan bahwa UN bukan hanya pertaruhan
hidup dan mati siswa yang bersangkutan sehingga sejatinya tidak sesederhana
sebuah ujian biasa karena dalam pelaksanaannya bukan hanya siswa yang
“bersemangat” menjadi yang terbaik, banyak pihak.
Terlepas dari tekanan dari banyak
pihak yang secara tidak langsung mengharuskan siswa memberikan yang terbaik
pada UN, ketidakpercayaan diri merupakan salah satu latar belakang rendahnya
integritas siswa. Singkatnya, kejujuran yang semahal berlian merupakan wujud
kompleksitas problema yang melatarbelakanginya.
Sinkronisasi
Masih sangat jelas terekam di memori
saya, betapa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang di dalamnya saya pun
tercatat sebagai salah satu pelajarnya, diinjak – injak dan dicemooh namanya
oleh berbagai media berkaitan dengan hasil UN tahun lalu yang hampir menduduki
posisi paling bungsu di Indonesia, sangat kontras dengan predikat kota pelajar
yang disandangnya. Namun dalam waktu yang singkat, headline media massa berbalik memberitakan hasil cemerlang yang
diraih pelajar DIY dalam menembus bangku PTN. Ketidaksinkronan hasil UN dan
seleksi PTN ini menjadi salah satu fakta yang saya harap dapat menjadi
pertimbangan Kemendikbud dalam menentukan sikap.
Entah karena mahalnya sebuah
integritas, atau sebab yang lain, ketidaksinkronan hasil UN dan SNMPTN bagi
saya adalah hal yang wajar. Mengapa? Karena keduanya menguji hal yang jauh
berbeda. Ujian Nasional merupakan penguji berhasil tidaknya proses pembelajaran
siswa selama tiga tahun di bangku SMA sedangkan SNMPTN merupakan sebuah seleksi
yang bertujuan untuk mencari bibit- bibit unggul yang siap menimba ilmu di
perguruan tinggi.
Mungkin tulisan yang merupakan
curahan uneg – uneg saya pribadi
selaku bagian kecil dari UN tahun ini hanya akan berakhir sebagai notes di Facebook dan satu posting di
blog.
Mungkin akan dibaca beberapa orang
yang tidak sengaja mampir, atau hanya sekadar dilihat – lihat karena kata –
katanya sungguh perspektif subyektif dan menjemukan
Mungkin akan sedikit memenuhi ruang
pikir pembacanya, untuk kemudian sejenak bernaung disana, kemudian berlalu
begitu saja.
Ya, mungkin dan mungkin. Namun,
meski penuh kemungkinan yang tak pasti, setidaknya tulisan yang sungguh tiga
hari ini tak berhenti merajuk saya untuk menyentuh dan menyelesaikannya ini
telah berhasil mengurangi letupan – letupan ide yang bermain di kepala saya.
Dan, tulisan ini menyelamatkan saya
dari I don’t know what to do di masa
– masa rehat pasca UN sembari mengumpulkan semangat menyongsong SNMPTN.
Bila 2013 kelak hasil UN benar
menjadi salah satu komponen penilaian SNMPTN, saya sangat berharap Pemerintah
telah berhasil menciptakan formula yang tepat yang dapat menguji kesiapan siswa
dalam menyongsong bangku perkuliahan meski dalam bingkai Ujian Nasional.