Pages

Selasa, 24 April 2012

Ironi dalam Sebuah Integrasi

“ Gimana matematika? Sepuluh opo ora?“
“ Belum sepuluh wong yang macet dua nomer. “
“ Tapi lancar to? “
“ Walaupun sempat ada insiden ganti LJK tapi Alhamdulilah lancar. ”
“ Lha keno opo LJK-ne? “
“ Lagi ngisi identitas tok saja dihapus langsung sobek. Kualitas LJK-nya nggak sebagus biasanya. “
“ Halah Indonesia, Indonesia. Opo yo duit LJK dikorupsi. ”

We were chosen to born as an Indonesian, to bring some change, not to complain about our country. @ArdyIhsan
Kicauan dari Ardy, teman seangkatan saya di sekolah mengingatkan saya untuk lebih nrima menanggapi LJK yang amat tipis dan rawan sobek. Insiden LJK sobek yang saya alami sudah pasti sangat merugikan karena 5 menit pertama yang sangat berharga pada mata pelajaran matematika terbuang untuk mengulang pengisian identitas. Bahkan, ternyata di sekolah saya bukan saya seorang yang mengalami insiden LJK robek, meski beruntungnya sekolah kami ditunjuk sebagai sub Rayon sehingga penggantian LJK dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Kualitas LJK yang tidak memadai bukan satu-satunya masalah lama yang lagi – lagi terulang di pelaksanaan UN kali ini. Bahkan bisa dibilang cuman sekelumit kecil dibanding yang lain -karena efeknya yang hanya menimpa siswa yang bersangkutan-, dimana dilematika lain yang membarengi Ujian Nasional cenderung menjadikan peserta ujian sebagai tameng bagi kepentingan pihak – pihak lain.
Maybe it’s easy to complain, to criticize, setidaknya tweet Ardy tadi semacam warning bagi saya untuk tidak berceloteh tentang ke-bobrok-an, ya saya tidak akan mengupas tentang apa yang salah. Saya hanya ingin memanfaatkan hak saya untuk berpendapat tentang “hak” saya dan jutaan anak di luar sana, yang akan memulai fase baru di hidupnya sebagai mahasiswa tahun ini.
Tahun lalu, 2011, Kemendikbud mengintegrasikan seleksi masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri), yang sebelumnya dilaksanakan masing – masing instansi, untuk diambil alih oleh Pemerintah sehingga masing – masing PTN berkewajiban mengikuti serangkaian SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk PTN). Tahun lalu memang bukan pertama kalinya SNMPTN digelar karena sesungguhnya seleksi nasional ini telah ada sejak eranya Papa dan Mama saya cari kuliahan. Hanya, mungkin pada era itu masih bertitel SPMB. Bila dibuat comparison mungkin sistem yang saat ini berlaku hampir – hampir mirip dengan era Papa Mama saya, memakai dua jalur yaitu PMDK (bentuk masa lampau dari SNMPTN Undangan) dan SMPB.
Tentang mekanisme jalur masuk PTN, saya yakin teman – teman 2012 sudah amat paham. Meski mekanisme baru ini kurang berpihak pada saya pribadi namun sejujurnya ada satu hikmah yang saya petik, mungkin Pemerintah kita ingin menyentralisasikan seleksi penerimaan mahasiswa baru semua PTN di bumi pertiwi di bawah bendera Kemendikbud. Gebrakan yang bijaksana di tengah separation movement yang baru – baru ini sering terdengar gaungnya.
Namun, ada satu isu yang menyentil tangan saya untuk bicara lewat deretan huruf yang berjajar di keyboard, Integrasi nilai Ujian Nasional sebagai salah satu komponen penilaian pada SNMPTN. Meski tahun ini masih sebatas wacana, yang berarti saya dan teman – teman 2012 lainnya selamat, namun hati dan logika saya tidak bisa serta merta menerima bila hasil Ujian Nasional dijadikan salah satu komponen penilaian pada SNMPTN.
Integritas, Saat Kejujuran Semahal Berlian
Untuk menjadikannya sebagai sub-judul dalam tulisan ini pun sejujurnya saya harus terlebih dahulu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ya, integritas peserta UN dalam menggarap ujian menurut saya masih perlu dipertanyakan sehingga kompetensi siswa tidak dapat diukur melalui Ujian Nasional.
Ketidakjujuran siswa dalam mengerjakan ujian memang bukan hal baru di negeri ini. Meski demikian, tanpa bermaksud membela, amat ingin saya tekankan bahwa ketidakjujuran siswa ini bukanlah semata keinginan dari sang pelaku untuk berbuat curang. Lebih jauh, rendahnya integritas siswa merupakan produk dari lingkaran setan yang entah siapa yang salah.
Disadari atau tidak, UN merupakan salah satu ajang prestisius yang bukan hanya sekadar penentu lulus atau tidaknya seorang siswa, UN merupakan salah satu tolak ukur kualitas sebuah sekolah baik di mata masyarakat luas maupun penggerak pendidikan sendiri. Bahkan, mungkin pula menjadi barometer berhasil tidaknya proses pembelajaran di suatu daerah tertentu, yang memiliki kans tersendiri untuk dijadikan bahan evaluasi tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, dapat saya katakan bahwa UN bukan hanya pertaruhan hidup dan mati siswa yang bersangkutan sehingga sejatinya tidak sesederhana sebuah ujian biasa karena dalam pelaksanaannya bukan hanya siswa yang “bersemangat” menjadi yang terbaik, banyak pihak.
Terlepas dari tekanan dari banyak pihak yang secara tidak langsung mengharuskan siswa memberikan yang terbaik pada UN, ketidakpercayaan diri merupakan salah satu latar belakang rendahnya integritas siswa. Singkatnya, kejujuran yang semahal berlian merupakan wujud kompleksitas problema yang melatarbelakanginya.
Sinkronisasi
Masih sangat jelas terekam di memori saya, betapa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang di dalamnya saya pun tercatat sebagai salah satu pelajarnya, diinjak – injak dan dicemooh namanya oleh berbagai media berkaitan dengan hasil UN tahun lalu yang hampir menduduki posisi paling bungsu di Indonesia, sangat kontras dengan predikat kota pelajar yang disandangnya. Namun dalam waktu yang singkat, headline media massa berbalik memberitakan hasil cemerlang yang diraih pelajar DIY dalam menembus bangku PTN. Ketidaksinkronan hasil UN dan seleksi PTN ini menjadi salah satu fakta yang saya harap dapat menjadi pertimbangan Kemendikbud dalam menentukan sikap.
Entah karena mahalnya sebuah integritas, atau sebab yang lain, ketidaksinkronan hasil UN dan SNMPTN bagi saya adalah hal yang wajar. Mengapa? Karena keduanya menguji hal yang jauh berbeda. Ujian Nasional merupakan penguji berhasil tidaknya proses pembelajaran siswa selama tiga tahun di bangku SMA sedangkan SNMPTN merupakan sebuah seleksi yang bertujuan untuk mencari bibit- bibit unggul yang siap menimba ilmu di perguruan tinggi.
Mungkin tulisan yang merupakan curahan uneg – uneg saya pribadi selaku bagian kecil dari UN tahun ini hanya akan berakhir sebagai notes di Facebook dan satu posting di blog.
Mungkin akan dibaca beberapa orang yang tidak sengaja mampir, atau hanya sekadar dilihat – lihat karena kata – katanya sungguh perspektif subyektif dan menjemukan
Mungkin akan sedikit memenuhi ruang pikir pembacanya, untuk kemudian sejenak bernaung disana, kemudian berlalu begitu saja.
Ya, mungkin dan mungkin. Namun, meski penuh kemungkinan yang tak pasti, setidaknya tulisan yang sungguh tiga hari ini tak berhenti merajuk saya untuk menyentuh dan menyelesaikannya ini telah berhasil mengurangi letupan – letupan ide yang bermain di kepala saya.
Dan, tulisan ini menyelamatkan saya dari I don’t know what to do di masa – masa rehat pasca UN sembari mengumpulkan semangat menyongsong SNMPTN.
Bila 2013 kelak hasil UN benar menjadi salah satu komponen penilaian SNMPTN, saya sangat berharap Pemerintah telah berhasil menciptakan formula yang tepat yang dapat menguji kesiapan siswa dalam menyongsong bangku perkuliahan meski dalam bingkai Ujian Nasional.

Madre (dalam sebuah Resensi) II

Menunggu Layang – Layang
                Christian dan Starla, sepasang sahabat yang dipersatukan oleh jurang perbedaan. Che, lelaki sangat biasa – biasa saja, cenderung kolot dan mencintai ritme hidup yang teratur beradu dengan Starla, gadis modern yang amat dinamis, bahkan terkesan semrawut.
Che hampir tak pernah terlibat percintaan dengan perempuan, terlalu khawatir kehadiran kaum hawa akan mengusik ritme hidupnya. Di lain pihak, Starla percaya bahwa mencoba – coba adalah bagian dari pencarian cinta hingga pada suatu waktu Ia dipertemukan dengan Rako, sahabat lama Che.
Che sudah hafal di luar kepala Rutinitas pencarian cinta Starla. Ia berani memastikan bahwa Rako adalah korban pencarian cinta Starla yang selanjutnya. Ultimatum Che pada Starla untuk tak mengumbar harapan kosong pada Rako dianggap Starla sebagai angin lalu. Che gusar. Bagaimana bisa Ia membiarkan Rako terperangkap dalam modus operandi yang dilancarkan Starla?
Dugaan Che tepat. Rako dan Starla bubar begitu saja seperti yang sudah – sudah. Kelakuan Starla sudah di ambang kewajaran. Che memilih untuk pergi dari Starla, satu – satunya teman yang Ia miliki, satu – satunya sosok yang meluweskan ke-rigid­-an hidupnya.
Pada akhirnya waktu jualah yang memaksa Che untuk kembali Starla. Waktu pula yang menyadarkan keduanya bahwa sejujurnya mereka adalah dua hati yang sama – sama kesepian, namun mencoba menghalaunya dengan cara yang berbeda. Starla terus mengisi hatinya dengan cinta – cinta semu. Sementara Che memilih menjadi penunggu yang setia, menikmati kesepian sebagai bagian dari apa yang harus Ia jalani.
Bila hati mereka adalah dua kotak kosong yang sama – sama menanti untuk diisi, apa salahnya mencoba mengisi satu sama lain?
Tak jauh berbeda dengan Guruji, Menunggu Layang – Layang memperkenalkan dua tokoh utama dengan lugas tanpa bertele – tele. Berlatar kehidupan metropolitan, Dee memvisualisasikan tokoh Starla dan Che dengan apik. Starla, wanita modern dengan sejuta pesona hadir mendampingi Che, lelaki kesepian yang keberadaannya dalam masyarakat selama ini seringkali kita abaikan.
Kecermatan Dee dalam menjelaskan detail ceritanya terlihat jelas di Menunggu Layang – Layang. Kejadian demi kejadian Ia kupas tajam, hingga alam bawah sadar pembaca sepenuhnya hanyut dalam pusaran yang Ia ciptakan.

Perempuan dan Rahasia
Meski menyuguhkan kisah yang berbeda – beda, ketiga karya Dee yang saya jumput dari Madre menampilkan tema yang kurang lebih sama, yaitu cinta. Lebih detailnya, ketiga cerita pendek di atas menggarisbawahi kompleksitas berpikir kaum hawa. Kisah kehamilan seorang wanita, kepergian seorang laki – laki meninggalkan perempuan yang sangat mencintainya serta persahabatan yang bermetamorfosa sebagai cinta adalah tema standar yang sering kita temui, baik dalam cerita fiksi maupun kehidupan nyata. Namun, lagi – lagi dengan kelihaiannya, Dee berhasil menyajikan sebuah realita di balik ketiga tema standar itu, yaitu jalan pikiran perempuan – perempuan dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sedang dialaminya yang tidak se-standar kejadian yang dialaminya.
Mungkin pernah terlintas dalam pikiran kita bahwa dalam hari – hari terakhir kehamilannya, seorang Ibu amat gelisah. Kekalutan tersebut sampai – sampai menyulut imajinasinya berbincang dengan sang janin. Dalam background kegelisahan perempuan yang tengah mengandung inilah Dee mencoba menyisipkan nilai – nilai yang ingin Ia bagi dalam kemasan perbincangan Sang Ibu dan janin.
Guruji bukanlah kisah cinta tak sampai yang pertama kali dirangkum dalam sebuah cerpen. Dengan tema standar inilah Dee mencoba memainkan emosi pembacanya lewat konflik – konflik yang dialami tokoh Ari. Dee menarasikan pencarian perempuan akan lelaki yang dicintainya, termasuk detail perasaan seorang perempuan yang ditinggalkan oleh sang kekasih. Tak berhenti sampai di situ, Dee juga mengupas tuntas jalan pikiran tokoh Ari, yang sekilas tak berlogika. Nampaknya Dee berusaha memberikan pembelaan terhadap jalan berpikir Ari melalui rahasia – rahasia dalam hati tokoh Ari yang kemudian membawa kita pada penerimaan atas jalan yang ditempuhnya.
Menunggu Layang – Layang, cara yang ditempuh Dee untuk menguak rahasia hati Starla, perempuan metropolitan yang secara fisik nampak hampir sempurna namun seringkali mendapatkan penilaian negatif dari sekitarnya karena hobi gonta – ganti pacar. Dee mencoba menjelaskan isi hati sosok playgirl  macam Starla. Menunggu Layang – Layang menjelaskan bahwa bukan kemauan Starla untuk mencari – cari cinta Sikap gonta – ganti pacar yang ditunjukkannya hanyalah bagian dari cara Starla mengusir kesepian yang mencabik – cabik hatinya. Penceritaan yang mellow namun tidak dibuat – buat,.
Dewi Lestari, yang lebih dikenal dengan nama Ketiga kisah Dee di atas merupakan hasil eksplorasinya tentang perasaan perempuan, tambang kisah yang tak akan habis digali. Dee mencoba menerangkan bahwa dalam cara bertindaknya yang terkadang sulit diterima logika, terdapat rahasia – rahasia perempuan yang kadang luput dari perhatian. Bukankah semua hati punya rahasia?


Burung tak sempat bertanya
Apakah dirinya merdu
Apa itu yang bernyanyi menembus awan
Dan mengantar hujan
Ia hanya terbang, merajut cinta dengan daun dan musim
Hingga semua telinga terjaga oleh kebenaran suaranya

Kupu – kupu tak sempat bertanya
Apakah dirinya indah
Apa itu yang membentang megah
Menggoda hutan untuk menawan cahaya bintang
Ia hanya hinggap, maerajut cinta dengan embun dan bunga
Hingga semua mata terpesona akan kecantikan sayapnya

Bunga tak sanggup bertanya
Apakah dirinya wangi
Apa itu yang meruap, memenuhi udara dan
Melahirkan kehidupan
Ia hanya tumbuh, merajut cinta dengan liur dan madu
Hingga alam raya terselimuti harum dan warna
Yang tak pernah diduganya
Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari

Madre (dalam sebuah Resensi) I

Seorang laki – laki tak kuasa bertanya
Mengapa perempuan ada
Siapa itu yang berdiam dalam keanggunan
Tanpa perlu mengucap apa – apa
Ialah puisi yang merajut cinta dengan bumi dan rahasia
Hingga semua jiwa bergetar saat pulang ke pelukannya
Perempuan dan Rahasia
Dewi Lestari

Citra perempuan sebagai makhluk yang lebih mengutamakan rasa dibanding logika adalah realita yang selama ini dipandang sebagai bagian dari kodrat perempuan itu sendiri. Letupan emosi, yang seringkali tak sempat tererupsi dari palung hati, nampak lebih pantas bersubyekkan seorang perempuan ketimbang lelaki. Perempuan dan gejolak yang dirasakannya merupakan perpaduan unik yang tak sederhana untuk dipahami.Paradigma inilah yang kemudian melatarbelakangi eksplorasi pengisahan perempuan, dan perasaannya, sebagai tambang ide yang seolah tak akan pernah habis untuk digali dunia sastra.
Menyibak relung hati perempuan tak ubahnya menjelajah sebuah lorong yang tiada berujung dan tiada berpangkal. Kompleksitas di dalamnya membawa kita pada titik yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Bagaikan menyusun puluhan puzzles yang terserak begitu saja, yang bila tertata dengan semestinya merupakan semacam kode yang akan mengantarkan kita pada rahasia – rahasia yang melatarbelakangi kompleksitas berpikir seorang perempuan. Rahasia – rahasia perempuan yang melatarbelakangi kompleksitas berpikir mereka inilah yang berusaha ditelanjangi oleh Dee melalui cerita – cerita  pendek yang terangkum dalam sebuah kumpulan cerita yang  Ia anugerahi nama Madre.

Rimba Amniotik
                Tak banyak penulis muda, yang seusia Dee, bernyali untuk menjual idealisme dalam sebuah karya sastra, dan seolah tak peduli dengan mainstream yang diusung novelis - novelis lain. Melalui Rimba Amniotik, Dee dengan percaya diri menyuguhkan gaya penceritaan yang tak biasa berupa dialog antara ibu dan janinnya,
                Tokoh Ibu yang kehamilannya diceritakan telah menginjak sembilan bulan tengah menanti kelahiran sang jabang bayi. Mereka, dua jiwa yang terbalut dalam satu raga, terpisahkan oleh selapis kulit perut. Namun, bagi Sang Ibu, relasi antara Ia dan janinnya tidak sesederhana dua jiwa dalam satu raga terpisahkan selapis kulit perut. Jauh lebih kompleks dibanding itu, keduanya adalah dua manusia yang saling mengandung, Sang Ibu mengandung janinnya. Di lain sisi Ia dikandung oleh kehamilan dirinya yang menempa Ia menjadi manusia yang lebih utuh. Embrio kecil itu mengandung jiwanya, mengemudikan tubuh dan hati, bahkan jiwanya. Begitu pun sebaliknya.
Dari jutaan kata lain yang mampu mencitrakan sesosok wanita hamil, pilihan Dee jatuh pada amniotik, lapisan plasenta yang berupa kantung pelindung bayi dalam rahim. Pemilihan judul Rimba Amniotik, paduan antara nilai sastra yang kental dan muatan ilmiah yang tak kalah pekat membuktikan kecerdasan seorang Dee sebagai penulis yang selalu mampu menyisipkan nilai – nilai science di tiap karyanya.
Tanpa menonjolkan unsur penokohan, Rimba Amniotik memperkenalkan tokoh sang Ibu dan janinnya dengan sangat halus. Penciptaan tokoh Ibu serta percakapannya dengan sang janin -yang sesungguhnya merupakan imajinasi sang Ibu semata- dibawakan Dee tanpa penjelasan detail dan gamblang, mengalir begitu saja. Bahkan Dee mencoba memberi ruang bagi pembaca untuk menerka – nerka hakikat kata demi kata yang ditulisnya, mencumbu karyanya hingga puas.

Guruji
                Adalah Ari, perempuan biasa, tokoh sentral yang secara tak sengaja bertemu dengan lelaki bernama sama dengannya, Ari di sebuah workshop tentang hipnosis regresi. Lelaki itu terlihat amat tidak antusias hadir di sana. Beberapa kali Ia nampak tertidur, limbung karena kantuk. Tak terduga, ketidak-antusiasan itu malah berhasil mencuri perhatian Ari.
                Lelaki itu tampak lebih hidup ketika mereka berkenalan. Tertawa lepas saat mereka menyebutkan nama yang sama. Waktu membawa keduanya tenggelam dalam lautan perasaan yang tak sedikit pun ingin mereka lawan. Hingga pada suatu pagi, Ari lelaki pergi begitu saja, tanpa pesan, seolah ingin mencampakkan segala kenangan yang belum berakhir, bahkan baru saja dimulai.  Ari mencoba mencari lelaki limbung yang kini sukses menggerogoti jiwanya. Tapi nampaknya takdir belum berkenan mempertemukan mereka empat mata. Semua tentang lelaki itu nampak lebih mirip rekaman dan bayangan yang terus mengitari kepala.
                Cerita orang – orang, artikel majalah,  dan carikan surat kabar membawa Ari datang pada Guruji. Guruji, pemilik padhepokan Buddha, yang tak lain adalah transformasi dari Ari-nya merupakan perjudian terakhir Ari untuk menuntaskan sisa – sisa perasaan dalam hatinya yang ingin segera Ia akhiri.
                Cukup kontras dengan Rimba Amniotik yang sejujurnya lebih layak disebut tulisan ringan ketimbang cerita pendek, Guruji menyuguhkan cerita pendek pada lazimnya. Cerita yang simple, hanya melibatkan dua tokoh utama namun sama – sama berkarakter kuat. Berlatar sebuah padepokan Buddha dan segala detailnya, lagi – lagi Dee memberi pembuktian bahwa Ia bukanlah penulis cerita fiksi yang merangkai satu demi satu peristiwa yang standar – sudah banyak dipakai penulis lain dan itu – itu saja – dengan cara yang standar pula. Jalan hidup Dee yang sempat mendalami ajaran Sang Buddha mengantarkannya pada ide cerita berlatar padepokan Buddha, termasuk penamaan tokoh Guruji, sebuah nama yang sarat nuansa buddhish.

Metamorfosa

Mungkin saya terlalu banyak melalap buku biologi hingga pada akhirnya memutuskan untuk mengganti nama LovingShare menjadi metamorfosa.
Mungkin saya ter-influence nama salah satu online craft-shop milik kakak angkatan yang di ingatan saya bernama Imago, meski ternyata bernama Indigo.
Sejatinya, begitu banyak kepingan masa – masa lampau berdatangan mengisi tiap lekukan otak saya, khususnya tiga tahun lalu di saat saya masih berwujud wong ndeso pula. Dan kepingan memori kemarin sore yang menyadarkan saya bahwa tiga tahun terakhir, kota Yogyakarta, rumah kontrakan di Jalan Kaliurang dan Padmanaba telah menciptakan komposisi ramuan yang tepat untuk merombak anak ndeso yang ber-mindset ­ndeso itu menjadi wong ndeso yang tidak ndesani. Sebuah proses yang mungkin belum layak disebut metamorfosa, mungkin hanya transformasi telur menjadi larva. Semoga saya terus berproses untuk mencapai level Imago.