Pages

Senin, 29 Juli 2013

Menyamakan Persepsi



“Text me when you are home”
“Takes me home when you are ready”

Aku tersenyum simpul mengingat betapa berbeda kedua kalimat itu. Mengerutkan dahi, bagaimana bisa kita hampir terjebak miss komunikasi. Menjadikan keduanya satu arti.
"Text me when you are home." kataku
"Tadi kamu bilang apa? Takes me home when you are ready? Maaf aku ngantuk banget tadi." katamu

Aku menyuruhmu mengirim pesan sesampainya kamu di rumah. Bukan apa-apa, hanya untuk memastikan kamu mendarat di rumah dengan selamat. Sesederhana itu.
Kamu berpikir aku memintamu membawaku “pulang” suatu saat nanti, saat hatimu sudah ready. Untuk apa aku dibawa pulang? Mungkin dikenalkan pada keluargamu. Serumit itu.

Untuk perbincangan yang kita lakoni satu dua kali. Untuk jasa antar-jemput yang kamu beri sesekali. Untuk pesan-pesan singkat yang akhir-akhir ini tak pernah absen setiap hari.
Adakalanya kita perlu menyamakan persepsi. Agar aku tidak melambungkan harapanku terlampau tinggi. Apakah aku benar-benar perempuan yang sedang engkau dekati? Atau mungkin hanya teman berbincang untuk mengisi kotak inboxmu pagi dan malam hari.

Kita perlu menyamakan persepsi. Dan untuk itu aku tidak ingin berjuang sendiri.

Sabtu, 16 Februari 2013

Biggest Dream Ever After


Sejak mengenal kosakata bernama cita – cita, dimana saat itu mungkin usia saya masih berangka tiga, bila ditanya apa cita – cita saya, selalu saya berikan jawaban yang sama. Saya ingin jadi dokter, tidak pernah berubah.
Bila anak – anak lain berujar mereka ingin jadi polisi saat taman kanak – kanak, kemudian jadi pilot saat SD, insinyur ketika SMP, hingga jadi ekonom ketika SMA, meski akhirnya kuliah sastra, saya tidak pernah berpindah jalur, hanya ingin menjadi dokter. Sepanjang perjalanan dari TK hingga SMA, dan hingga detik ini saya benar – benar kuliah di Fakultas Kedokteran jurusan Pendidikan Dokter, saya tetap ingin jadi dokter. Tidak pernah berubah.
Bagi Anda sekalian yang menyaksikan film “Habibie & Ainun” di bioskop beberapa waktu lalu (dan benar – benar memperhatikan tiap scene yang disajikan), tentu anda masih ingat salah satu adegan saat Ibu Ainun akan dioperasi dan kemudian salah satu putra beliau merengek karena pesawat mainan miliknya rusak. Ibu Ainun (kalau di film sih lebih tepat dibilang BCL kali, ya) kemudian meraih mainan anaknya mencoba memperbaikinya seraya berkata :
“Sebentar, ya.”
(Bagi Anda yang merasa ikut berdesak – desaka di antrian tiket demi menyaksikan film ini, namun belum connect dengan adegan yang dimaksud, clue selanjutnya dari scene ini adalah kemudian Pak Habibie mengambil pesawat mainan tersebut dan memperbaikinya, memastikan bahwa dirinya lebih ahli dalam dunia ‘per-pesawat-an’, pesawat mainan sekalipun. Dalam scene ini pula terdapat secuil dialog antara Pak Habibie dan Ibu Ainun yang cukup meriuhkan seisi studio dengan tawa penonton.)
Kata “Sebentar, ya.” itulah yang mampu menyihir saya beberapa saat. Dua kata yang sederhana, lembut, namun sarat akan cinta. Bila harus dieja bagaimana BCL melafalkannya saya masih sangat ingat, se-bentar ya. Se- diberi jeda kemudian diikuti bentar, dan ya yang meninggi, seolah ingin memastikan semuanya baik – baik saja; tidak perlu khawatir; Ibu akan “menyembuhkan” “pesawat-mu” segera.
Jleb. Seketika kalimat bermuatan magis itu menyihir saya. Dan kemudian menggiring saya pada sebuah penemuan mimpi baru yang saat ini bisa diberikan predikat “Biggest Dream Ever After“, menjadi ibu terbaik untuk anak – anak saya kelak. Ibu yang lembut dan penuh cinta.
Namun, adakalanya benar kata orang bijak, sesuatu yang rumit bisa menjadi sangat sederhana, sebaliknya sesuatu yang sederhana bisa pula menjelma menjadi rumit. Mimpi menjadi ibu terbaik mungkin terdengar sederhana, lebih sederhana dibanding menjadi dokter, tetapi bagi saya menjadi ibu terbaik lebih rumit daripada menjadi dokter itu sendiri. Setidaknya, untuk menjadi dokter, yang perlu saya lakukan hanyalah mem-“push-up” diri saya sekeras mungkin. Sebaliknya, untuk menjadi ibu terbaik, usaha dari saya sendiri tentu tidak cukup, butuh kerjasama dari ayah terbaik, nah ini salah satu hal yang membuat rumit!
Ingin menjadi ibu terbaik bukan berarti cita – cita yang sudah saya genggam sejak saya mengenal kosakata cita – cita, menjadi dokter, tergusur begitu saja. Menjadi dokter tetaplah cita – cita saya dari dulu hingga kini; namun perkenankanlah mimpi menjadi ibu terbaik bertengger menjadi mimpi terbesar saya. Semoga suatu waktu nanti mimpi yang mulia ini menjelma jadi nyata!

Rabu, 13 Februari 2013

222 : 6


Beberapa hari ini, saya menikmati hari – hari libur akhir semester yang minggu ini memasuki pekan kedua. Jumat minggu lalu tepatnya, kakak saya menyodorkan sebuah buku berjudul “Cado – Cado; Catatan Dodol Calon Dokter”, sebuah buku (mungkin lebih tepat saya sebut kumpulan cerita nyata super konyol) yang ditulis Ferdiriva Hamzah, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Univeristas Indonesia. Pada buku setebal 190 halaman yang mengisahkan lika – liku perjalanan Riva (panggilan akrab dr. Ferdiriva) ketika menjalani masa rotasi klinis di berbagai rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya.
Apa itu rotasi klinis? Setelah menyelesaikan pendidikan S1 selama 7-8 semester (bervariasi tiap universitas), maka seorang mahasiswa kedokteran akan mendapat gelar Sarjana Kedokteran serta mendapat gelar lain yaitu Dokter Muda alias ko ass (asisten dokter “beneran”). 
Bukan tentang Cado – Cado yang tiap barisnya mampu mengundang gelak tawa (perjalanan masa rotasi klinis dokter yang satu ini memang bisa dibilang konyol), atau dr.Riva yang kini telah mampu menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dan bergelar spesialis mata. Yang ingin saya bahas adalah berbagai macam istilah kedokteran yang ditebar sang penulis di tiap lembar bukunya. Istilah – istilah dasar memang, seperti anamnesis dan penyakit nosokomial. Namun, saya yang notabene baru 6 bulan mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran mampu menangkap kosakata yang bagi masyarakat luas lebih mirip bahasa alien. 6 bulan!
***
Suatu pagi di weekend lalu, saya tengah asyik berselancar di dunia maya (re: sign in facebook dan mengecek timeline twitter), tiba – tiba Papa saya datang dan meminta tolong untuk dibukakan website-nya MTA (Majelis Tafisr Al-Quran). Fyi, Papa saya sedang hobi – hobinya mendengarkan radio channel-nya MTA. Fyi (lagi), MTA adalah sebuah gerakan islam (entah pantas saya sebut organisasi masyarakat/ormas atau tidak) yang berkantor pusat di Surakarta dengan penceramah dengan popularitas paling tinggi bernama ustadz Sukina.
Di home laman MTA tersebut saya menemui berbagai kosakata yang, menurut saya asing, tidak pernah saya temui selama ini, seumur hidup saya 18 tahun 6 bulan sebagai seorang muslim. Selain menjamah website MTA, saya dan Papa juga membuka beberapa laman yang berada di halaman pertama yang ditampilkan google ketika kami mengetikkan kata kunci ‘Majelis Tafsir Al-Quran’. Lagi – lagi istilah yang bertebaran adalah kata – kata yang tidak saya tahu artinya. Sebagai umat muslim yang “living in the way of islam” sepanjang hidup saya, selama 222 bulan ini tentu saya tercengang menemui fakta dan realita bahwa saya tidak mampu mencerna kata – kata di beranda sebuah laman organisasi muslim. 222 bulan!
222:6 oh 222:6!
Logika saya mencerna bahwa kata – kata berbau medis yang ditampilkan dokter Riva tentulah lebih profundal (dalam) dibanding kosakata di beranda berbagai laman islami. Tapi toh nyatanya, kata – kata itu lebih mampu saya pahami ketimbang istilah keislaman yang tertuang di web – web yang saya bukan. Entah siapa atau apa yang salah. Yang saya tahu hanyalah 222:6 menunjukkan hasil 37; yang berarti saya telah menjadi muslim (dan mempelajari islam) 37 kali lebih panjang rentangnya dibanding perjalanan saya di dunia kedokteran. Namun hal itu belum menjamin bahwa kedalaman ilmu agama saya 37 kali lebih profundal dibanding pengetahuan saya di  bidang medis. Detik itu juga saya tentukan, saya akan mengikuti kelanjutan program AAI (Asistensi Agama Islam) di semester 2 nanti. Bismillah!

Posting yang menampilkan dua sisi ini terinspirasi dari buku Dewi Lestari yang akan diangkat ke Layar Lebar, RectoVerso. Singkatnya RectoVerso memiliki makna dua sisi. Di beberapa post selanjutnya akan kembali ditampilkan beberapa kisah dengan gaya penulisan yang berakar pada RectoVerso.

Senin, 11 Februari 2013

Catatan Akhir Semester


Tidak terasa satu semester sudah saya hidup sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tutorial, praktikum, lecture, buku – buku teks tebal, jas laboratorium, pre-test dan post-test melengkapi hari demi hari saya kini. 6 bulan yang cukup melelahkan, meski sejujurnya saya masih sangat ‘abal’ dalam menjalani bangku kuliah.
Tiap scene yang saya jalani selama enam bulan ini tidak mungkin saya paparkan satu demi satu disini. Satu yang pasti, saya mulai (dan semakin) mencintai jalan yang telah saya ambil untuk berada di bidang ini. Semoga semester kedua dan seterusnya dapat saya jalani dengan jauh lebih baik!