Pages

Sabtu, 16 Februari 2013

Biggest Dream Ever After


Sejak mengenal kosakata bernama cita – cita, dimana saat itu mungkin usia saya masih berangka tiga, bila ditanya apa cita – cita saya, selalu saya berikan jawaban yang sama. Saya ingin jadi dokter, tidak pernah berubah.
Bila anak – anak lain berujar mereka ingin jadi polisi saat taman kanak – kanak, kemudian jadi pilot saat SD, insinyur ketika SMP, hingga jadi ekonom ketika SMA, meski akhirnya kuliah sastra, saya tidak pernah berpindah jalur, hanya ingin menjadi dokter. Sepanjang perjalanan dari TK hingga SMA, dan hingga detik ini saya benar – benar kuliah di Fakultas Kedokteran jurusan Pendidikan Dokter, saya tetap ingin jadi dokter. Tidak pernah berubah.
Bagi Anda sekalian yang menyaksikan film “Habibie & Ainun” di bioskop beberapa waktu lalu (dan benar – benar memperhatikan tiap scene yang disajikan), tentu anda masih ingat salah satu adegan saat Ibu Ainun akan dioperasi dan kemudian salah satu putra beliau merengek karena pesawat mainan miliknya rusak. Ibu Ainun (kalau di film sih lebih tepat dibilang BCL kali, ya) kemudian meraih mainan anaknya mencoba memperbaikinya seraya berkata :
“Sebentar, ya.”
(Bagi Anda yang merasa ikut berdesak – desaka di antrian tiket demi menyaksikan film ini, namun belum connect dengan adegan yang dimaksud, clue selanjutnya dari scene ini adalah kemudian Pak Habibie mengambil pesawat mainan tersebut dan memperbaikinya, memastikan bahwa dirinya lebih ahli dalam dunia ‘per-pesawat-an’, pesawat mainan sekalipun. Dalam scene ini pula terdapat secuil dialog antara Pak Habibie dan Ibu Ainun yang cukup meriuhkan seisi studio dengan tawa penonton.)
Kata “Sebentar, ya.” itulah yang mampu menyihir saya beberapa saat. Dua kata yang sederhana, lembut, namun sarat akan cinta. Bila harus dieja bagaimana BCL melafalkannya saya masih sangat ingat, se-bentar ya. Se- diberi jeda kemudian diikuti bentar, dan ya yang meninggi, seolah ingin memastikan semuanya baik – baik saja; tidak perlu khawatir; Ibu akan “menyembuhkan” “pesawat-mu” segera.
Jleb. Seketika kalimat bermuatan magis itu menyihir saya. Dan kemudian menggiring saya pada sebuah penemuan mimpi baru yang saat ini bisa diberikan predikat “Biggest Dream Ever After“, menjadi ibu terbaik untuk anak – anak saya kelak. Ibu yang lembut dan penuh cinta.
Namun, adakalanya benar kata orang bijak, sesuatu yang rumit bisa menjadi sangat sederhana, sebaliknya sesuatu yang sederhana bisa pula menjelma menjadi rumit. Mimpi menjadi ibu terbaik mungkin terdengar sederhana, lebih sederhana dibanding menjadi dokter, tetapi bagi saya menjadi ibu terbaik lebih rumit daripada menjadi dokter itu sendiri. Setidaknya, untuk menjadi dokter, yang perlu saya lakukan hanyalah mem-“push-up” diri saya sekeras mungkin. Sebaliknya, untuk menjadi ibu terbaik, usaha dari saya sendiri tentu tidak cukup, butuh kerjasama dari ayah terbaik, nah ini salah satu hal yang membuat rumit!
Ingin menjadi ibu terbaik bukan berarti cita – cita yang sudah saya genggam sejak saya mengenal kosakata cita – cita, menjadi dokter, tergusur begitu saja. Menjadi dokter tetaplah cita – cita saya dari dulu hingga kini; namun perkenankanlah mimpi menjadi ibu terbaik bertengger menjadi mimpi terbesar saya. Semoga suatu waktu nanti mimpi yang mulia ini menjelma jadi nyata!

1 komentar: