Pages

Selasa, 23 Agustus 2011

Senja untuk Laluna


        Prama
Harus kubilang aku suka hujan. Rintiknya yang gemericik, wangi tanah yang basah, dingin yang menusuk – nusuk sumsum tulang, pelangi yang berdendang usai hujan dan tentunya Shinta.. Shinta dan aku amat mencintai hujan. Sangat. Ya, Shinta, mantan kekasih yang selalu setia menghabiskan tiap episode hujan bersama lelaki kumal macam aku. Rambutnya yang basah tersapu rintik hujan, Senyum manisnya saat kami mendapati pelangi tengah menari. Semua tentang hujan. Aaah Shinta. Apapun itu, hujan memang indah, dan tiap perempuan yang mencintai keindahan barangkali sama dengan Shinta. Mencintai hujan.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞
Sepoi angin membelai kami dalam tangis haru. Semua manusia di tempat ini terlarut dalam do’a yang disampaikan Ustadz Sanusi sore itu. Beberapa terisak, sebagian lainnya mencoba tersenyum, namun kecut. Kupikir untuk menyembunyikan luka kehilangan. Mas Prama terduduk lesu di atas tanah yang masih basah. Menatap pusara dalam kehampaan.
Satu demi satu mulai meninggalkan tempat ini. Mungkin mereka tak suka dengan wangi kamboja yang semerbak. Atau ingin menghabiskan senja di tempat lain. Entahlah, yang kulihat hanyalah Mas Prama masih tetap setia menemaniku disini. Mulutnya sibuk  melafalkan tiap – tiap ayat di surat Yaasin.
“ Pram, pulanglah Le! Ini sudah mau maghrib lho. Tak baik surup – surup kita ada di tempat seperti ini ! “ Bapakku memotong lantunan Yaasin Mas Prama yang sungguh menentramkan jiwaku.
Bapak adalah manusia yang nampak paling tegar di antara semua kerabat yang tadi sempat hadir di tempat ini.Di pelukannya perempuan paruh baya yang selama ini kupanggil Ibu masih setengah terisak sepanjang upacara, namun Bapak sesekali tersenyum pada mereka yang datang menyampaikan duka cita.

∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞


Berbeda dengan Mas Prama dan Shinta, dari dulu aku suka senja. Langit yang memerah, garis – garis di cakrawala, dan perpisahan kita dengan mentari yang di dalam setiap senja ada janji setia. Ya, bagiku tiap senja menyimpan janji sang mentari. Saat senja mentari seolah berpamitan padaku untuk sekejap pergi menyinari belahan dunia yang lain, lalu aku menangis karena takut Ia tak akan datang lagi untuk menerangi. Karenanya mentari berjanji akan datang lagi tepat waktu fajar, sama seperti hari – hari kemarin. Janji yang hingga kini tak pernah ingkar, bukan ? Begitulah adanya bagiku.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞


“ Hei cantik. Kau harus lihat pelangi itu” Mas Prama berujar
“ Aku melihatnya.”
“ Kau suka, bukan ? Aku yakin kau suka, Lun. Pelangi itu cantik, sepertimu. Tapi masih lebih cantik kau sedikit laah. Hahahaha  “
Aku hanya mengangguk pelan. Mas Prama masih terkekeh. Huh, dia pikir apanya yang lucu. Aku tahu aku tak cantik. Tapi kalau toh dia anggap aku cantik, aku lebih suka disamakan dengan kecantikan senja yang selalu setia. Hei Mas, kau tahu bukan pelangi hanya kadang saja menghampiri?  Seringkali, telah kita habiskan satu episode panjang hujan, dan dia tak juga nampak membayar penantian kita. Berbeda dengan senjaku yang tak pernah ingkar.
“ Mau kuantar pulang sekarang ? Pelangi kita sudah hilang, Lun ! Kalau kita terus disini aku takut cantikmu yang secantik pelangi itu ikut – ikutan hilang. Ayo, sayang ! “
“ Boleh. “ jawabku singkat.
Aku hanya terdiam saat tangan Mas Prama menarikku masuk ke mobil meski sebentar lagi senja yang kunanti datang. Dan begitulah tiap episode hujan kami lewatkan. Senyuman dan tawa Mas Prama selalu mampu membunuh kerinduanku untuk menghabiskan senja bersamanya. Tak ada sedikitpun niat untuk bercerita secara eksplisit pada Mas Prama tentang hasratku pada senja. Bukankah bahasa tubuh dan isyarat telah kutampakkan? Harusnya Ia mengerti.
 Ya, dia Mas Prama. Prama Sadewa. Dia adalah kekasih yang tak lama lagi akan menjadi pasangan hidupku. Mas Prama mencintai hujan, termasuk semua memori tentang hujan yang telah dilaluinya bersama Shinta, mantan kekasih Mas Prama yang amat cantik itu. Mereka sama, mencintai hujan. Mungkin Mas Prama pikir aku sama juga dengan Shinta dan dirinya. Namun kalian tahu, aku dan senjaku berbeda.
Hingga saat ini aku mengerti Mas Prama masih sangat menyayangi Shinta. Tiap hujan datang dengan lantangnya Ia bercerita tentang hujan, tentang pelangi, dan yang pasti tentang Shinta. Tak sekalipun aku cemburu karena dari situlah aku amat mencintai Mas Prama dan kesetiaannya pada Shinta yang telah kuuji. Tentang cinta Mas Prama untukku, semua kuserahkan pada waktu.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞

Senja ini aku habiskan sendirian. Merenungi segala yang terjadi antara aku dan Mas Prama. Esok pagi Ia akan melamarku. Itu artinya tidak lama lagi kami akan menjadi satu, dan aku akan kehilangan waktuku bersama senja yang amat kucintai ini, lalu menghabiskan hidup bersama Mas Prama, menanti – nanti hujan dan pelangi.
Mentari baru saja mengucap kata pamit dan janji setianya untuk kembali esok pagi. Episode senja kali ini telah usai dan aku putuskan untuk menekuri jalanan pulang ke rumah. Mempersiapkan semua untuk esok hari. Mobil butut ini berjalan pelan membelah kota, namun pikiranku melayang lagi pada Mas Prama dan semuanya.
Akankah suatu hari nanti Mas Prama mengerti aku suka senja? Atau haruskah kuceritakan saja saat ini padanya? Ah, tidak, tidak, harusnya Mas Prama telah mengerti itu. Berapa tahun kami habiskan bersama ? Berapa kali aku menunjukkan bahasa tubuh dan raut muka ketidaksukaanku pada hujan dan kecintaanku pada senja yang indah? Sudahlah Luna, sudahlah.
Jalanan kota makin semrawut rasanya saat ponsel kesayanganku bergetar. Satu pesan baru dari Mas Prama. Pikiranku benar – benar terbagi, membalas pesan Mas Prama, lamunan tentang hujan dan senja, dan yang terpenting adalah konsentrasi pada kemudi mobil ini. Tapi sial, mobil ini hilang kendali.
Aku baru saja menyelesaikan kata pertama untuk membalas pesan Mas Prama ketika sontak kudengar klakson yang panjang dari truk pengangkut barang. Semua berlalu begitu cepat. Yang  mampu kutangkap hanya kerumunan manusia yang memandangiku penuh iba, lalu tercium bau anyir darah yang segar. Semua berakhir dengan gelap. Gelap yang tiada lagi berujung.
∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞∞

“ Bapak dan Ibu tunggu kamu di mobil saja ya . Cepatlah!“
Lagi, bapakku meminta Mas Prama pulang. Keberadaannya disini tak akan pernah membawa aku kembali ke dunia yang fana’ ini. Tapi toh Mas Prama tak bergeming, tetap bersimpuh di tanah basah yang di dalamnya jasadku terbujur kaku.
“ Pulanglah, Mas. Kau harus pulang. Aku tahu jalanmu masih panjang. Berjuanglah untuk semuanya. Tinggalkan aku disini. “ aku mencoba berbisik
 Tak lama berselang Mas Prama mencoba berdiri, melangkah keluar dari area pemakaman ini dengan tegar. Aku mengantarnya dengan tatap haru, tak berubah dengan empat tahun lalu ketika kami meninggalkan tempat ini usai pemakaman Shinta,  mantan kekasih Mas Prama yang juga sahabat terbaikku.
Senja ini memang terasa berbeda dengan kehadiran Mas Prama di sisiku. Melantunkan ayat – ayat suci yang kuharap dapat memudahkan jalanku menghadap Sang Khalik.
Deru mobil Mas Prama terdengar makin jauh. Pergi meninggalkan tempat ini. Dan aku tahu aku pun harus segera pergi. Memenuhi panggilan Tuhan dengan sukacita, karena senja ini telah kuhabiskan bersama Mas Prama. Meski terpisah dimensi yang berbeda, aku tak peduli. Yang kutahu senja ini untukku. Senja untuk Laluna.         

2 komentar:

  1. nice story...
    secara tak langsung, mungkin aku bisa merasakan bagaimana mas Prama disana, karna ternyata, senja tak lagi jingga

    [KUTIP]
    ...
    Hujan, kerapkali memerangkapku dalam pilihan pilihan sulit
    apakah akan memaksakan diri berlari menembusnya, atau
    menunggu hingga reda sambil mengumpat kesal
    ...

    BalasHapus
  2. baca juga " Mas Bram dan Sajak Penyambung Rindu"


    "Larilah, hujan itu tembuslah
    agar basah
    biar hilang semua gundah
    basah menyapu resah"

    BalasHapus