Pages

Selasa, 23 Agustus 2011

Mas Bram dan Sajak Penyambung Rindu


Kuncup – kuncup mawar di taman belakang baru saja mekar. Belum sempurna merekah memang, namun semerbak wanginya cukup menggoda syaraf penciuman. Duri – durinya yang tajam tertancap tegar, tak tergoyahkan. Aku membenamkan jemari di tanah gembur yang dari sanalah mawar – mawar elok itu bermuasal. Mawarku, merekahlah pagi yang akan datang, saat keelokanmu telah saatnya kujadikan persembahan, aku berbisik pada Tuhan.
Pagi itu, suatu pagi yang biasa saja. Bapak menyimak warta pagi dari radio tepat saat jam dinding di ruang tengah menunjuk angka enam. Aku sibuk mematut diri di depan cermin sebelum berangkat mengajar. Semua berjalan seperti biasanya hingga pewarta pagi di radio itu membacakan berita penutup yang tak kunyana. Kedatanganmu.
“Bisa besarkan suaranya, Pak?”
”Ini udah pol. Bapak yang sudah ringkih aja denger, masak kamu yang masih perawan ayu nggak krungu? Apa pengen takbawa ke THT?” Bapak terkekeh
Aku tidak tertarik untuk menanggapi humor segar yang dihembuskan Bapak. Perhatianku sepenuhnya tertuju pada suara pembaca warta pagi itu. Putra daerah kita, Brama Narendra, yang baru saja menyabet gelar terbaik pada kompetisi astronomi mahasiswa di Belanda dijadwalkan tiba di Yogyakarta esok pagi, begitu katanya. Mas, benarkah kamu pulang?
Mawar merah yang tertanam di halaman belakang telah sempurna merekah. Tuhan menyambut mesra  doaku untuk mawar – mawar elok ini. Tujuh  tangkai mawar merah kini berjajar rapi dalam genggaman. Kuputuskan untuk tidak pergi mengajar pagi ini demi rindu hati yang tak lagi dapat diredam. Aku harus menyaksikan sendiri  bagaimana kakimu kembali berpijak kembali di kota ini. Harus.
“Apa benar pagi ini pesawat dari Jakarta yang membawa Brama Narendra mendarat di Yogya, Pak?” tanyaku pada salah satu petugas di bandara
“Maaf sekali, saya nggak tahu pasti mbak. Tapi dengar – dengar sekitar jam sembilan. Mbak sendiri dari media mana? Mohon menunjukkan kartu pers di sebelah sana kalau mau meliput kedatangan beliau.”
Aku tertunduk. Lesu. Kartu pers, benda yang pertama kali Ia tanyakan. Haruskah aku, kekasih Mas Bram sedari SMA menunjukkan tanda pengenal khusus untuk sekedar menyaksikan kedatangannya.  Tidak adil rasanya bila aku harus dipersamakan dengan para pemburu berita yang sama sekali tak tahu masa lalu Mas Bram.
Butiran – butiran bening yang hangat meronta ingin meloncat keluar dari pelupuk mataku. Kuremas tas kumal yang tergerai di pinggang. Beberapa wanita saling berbisik tentang kedatangan Bapak Walikota untuk menyambut Mas Bram dan rombongan. Sebegitu besarnyakah namamu kini, Mas sehingga Walikota pun meluangkan waktu untuk menyambutmu?
Jantungku berdegup semakin kencang mendengar deru pesawat yang kian silih berganti. Tepat pukul sembilan lebih delapan sosokmu tertangkap dari kejauhan. Kau tak berubah, Mas.
 Peluh sebiji jagung mengalir deras, mungkin saja mereka bersenyawa dengan cairan bening yang semakin meronta di pelupuk mataku. Aku tak peduli, terus  kucoba menembus kerumunan. Namun, sedepan apapun aku berdiri aparat keamanan berbadan tegap membatasi kita. Kulambaikan tangan seraya mengucap namamu. Sekejap engkau menolehkan muka. Tentu kau ingat bukan sapaan sayangku untukmu, Mas Bram. Engkau masih ingat kan mas? Iya, ‘kan? Jika tidak tentu kau tak menoleh mencari sumber suaranya. Aku. Hatiku berdebar amat dahsyat saat kedua mata kita bertemu. Namun sayang seribu satu sayang, sedetik kemudian kau palingkan pandang. Apa kau jijik menjumpai bulir peluhku yang beradu dengan air mata? Tidak, tentu tidak. Bukankah dulu kau usap tiap butir bening yang mengalir dari kelopakku? Atau kaunilai aku tak secantik dulu? Tentu saja tidak. Bukankah dulu kau bilang aku akan semakin cantik saat dewasa nanti? Atau, atau apa Mas? Mengapa semudah itu pandanganmu berpaling?
Lututku melumpuh layu. Bunga mawar yang wangi semerbak kini nampak seperti onggokan duri yang siap menghujam nadi. Haruskah aku meronta di dalam kerumunan untuk menunjukkan kehadiranku, Mas? Haruskah? Jeritanku terhenti di kerongkongan. Tak tega kiranya aku menjatuhkan harga dirimu dengan teriakku yang mengaku sebagai kekasihmu. Aku hanya seorang guru honorer di SD pinggiran berbaju kumal. Timpang denganmu, tamu istimewa yang disambut Walikota.
Aku membolak – balik buku bersampul coklat yang kaubungkus rapi di ulang tahunku ke delapan belas, dua hari sebelum kepergianmu. Ratusan sajak rindu terukir disana, sesuai pesanmu bahwa aku harus semakin giat menulis.
“ Jangan beri aku puisi lagi, Dinda. Tulis saja sajak seperti anak SD kelas satu. Kemampuan linguistikku tak lebih baik dibanding bocah enam tahun. Bila kau tulis puisi semalaman aku tak tidur memikirkan artinya.”
“ Kau harus banyak membaca karya sastra sebelum otakmu meledak karena rumus – rumus fisika, Mas. ”
“ Jadi ilmuwan itu mimpiku, Dinda. Baik – baiklah disini. Jadilah guru bahasa Indonesia yang baik dan wujudkan mimpimu untuk jadi penulis sembari menunggu aku pulang.”
Senyum terkulum di bibirku. Ya aku janji, Mas.
Buku setebal dua ratus halaman ini rasanya tak lagi muat untuk menampung sajak – sajak rindu untukmu. Mungkin, tiap lembarnya takkan sesesak ini bila kau balas e-mail yang selalu kukirimkan semenjak jarak Yogya-Belanda jauh terbentang memisahkan kita. Sikap acuh tak acuhmu setahun belakangan memaksaku terus menulis sajak penyambung rindu yang sejujurnya semakin membuncahkan kerinduan. Tapi, jujur aku suka gejolak ingin bertemu yang menggelitik sukma tiap jemariku menari di atas kertas. Sungguh, aku menikmati setiap rasa yang tercipta karena cintaku padamu. Hancurnya aku tiap menulis sajak rindu yang terus tersambung dengan buih rindu sebelumnya. Juga berpalingnya pandanganmu yang mengoyak rasaku pagi tadi.
 “ Senja adalah saat berpisah bagi bumi dan matahari. Tapi, matahari janji akan datang lagi esok hari. Matahari itu baik ya Mas, selalu menepati janji.”
“ Teori darimana itu, Dinda? Matahari stasioner pada posisinya, sedangkan bumi terus berputar. Bukan matahari yang datang pada bumi, tapi bumi yang menghadap pada matahari.”
Air mataku yang telah terperas habis rasanya belum cukup untuk menangisimu. Semula, kupikir kau akan datang mengetuk pintu rumahku. Menghabiskan senja di teras rumahku sembari menyeruput teh hangat, minuman favoritmu. Mendongengkan aku bagaimana matahari dan bumi bergerak pada orbit edarnya.
Tapi hari ini tujuh hari sudah semenjak kedatanganmu. Mrngapa tak kunjun kau tampakkan batang hidungmu? Sesibuk apakah engkau kini hingga tak sempat menengokku ? Ataukah ada urusan lain yang lebih penting?
Aku membantu Ibu menyiapkan sarapan seperti biasa. Tak kudengar suara pembaca warta pagi dari radio Bapak. Seperti ada yang hilang. Bapak. Kucoba meraih radio hitam yang teronggok di atas televisi, menekan tombol ON.
Putra daerah kebanggaan kita, Brama Narendra menunda jadwal kembali ke Belanda yang sebelumnya direncanakan pagi ini. Kabar yang beredar penundaan ini berkaitan dengan rencana pertunangan Bima dengan kekasihnya yang tidak lain adalah putra Bapak Walikota, Anisa Nareswari.
Aku termangu. Segala menghitam. Gelap yang kusangsikan akan berujung.

                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar