Sejak mengenal kosakata
bernama cita – cita, dimana saat itu mungkin usia saya masih berangka tiga,
bila ditanya apa cita – cita saya, selalu saya berikan jawaban yang sama. Saya
ingin jadi dokter, tidak pernah berubah.
Bila anak – anak lain
berujar mereka ingin jadi polisi saat taman kanak – kanak, kemudian jadi pilot
saat SD, insinyur ketika SMP, hingga jadi ekonom ketika SMA, meski akhirnya
kuliah sastra, saya tidak pernah berpindah jalur, hanya ingin menjadi dokter.
Sepanjang perjalanan dari TK hingga SMA, dan hingga detik ini saya benar –
benar kuliah di Fakultas Kedokteran jurusan Pendidikan Dokter, saya tetap ingin
jadi dokter. Tidak pernah berubah.
Bagi Anda sekalian yang
menyaksikan film “Habibie & Ainun” di bioskop beberapa waktu lalu (dan
benar – benar memperhatikan tiap scene yang disajikan), tentu anda masih ingat
salah satu adegan saat Ibu Ainun akan dioperasi dan kemudian salah satu putra
beliau merengek karena pesawat mainan miliknya rusak. Ibu Ainun (kalau di film
sih lebih tepat dibilang BCL kali, ya) kemudian meraih mainan anaknya mencoba
memperbaikinya seraya berkata :
“Sebentar, ya.”
(Bagi Anda yang merasa
ikut berdesak – desaka di antrian tiket demi menyaksikan film ini, namun belum
connect dengan adegan yang dimaksud, clue selanjutnya dari scene ini adalah
kemudian Pak Habibie mengambil pesawat mainan tersebut dan memperbaikinya,
memastikan bahwa dirinya lebih ahli dalam dunia ‘per-pesawat-an’, pesawat
mainan sekalipun. Dalam scene ini pula terdapat secuil dialog antara Pak
Habibie dan Ibu Ainun yang cukup meriuhkan seisi studio dengan tawa penonton.)
Kata “Sebentar, ya.”
itulah yang mampu menyihir saya beberapa saat. Dua kata yang sederhana, lembut,
namun sarat akan cinta. Bila harus dieja bagaimana BCL melafalkannya saya masih
sangat ingat, se-bentar ya. Se- diberi jeda kemudian diikuti bentar, dan ya
yang meninggi, seolah ingin memastikan semuanya baik – baik saja; tidak perlu
khawatir; Ibu akan “menyembuhkan” “pesawat-mu” segera.
Jleb. Seketika kalimat
bermuatan magis itu menyihir saya. Dan kemudian menggiring saya pada sebuah
penemuan mimpi baru yang saat ini bisa diberikan predikat “Biggest Dream Ever
After“, menjadi ibu terbaik untuk anak – anak saya kelak. Ibu yang lembut dan
penuh cinta.
Namun, adakalanya benar
kata orang bijak, sesuatu yang rumit bisa menjadi sangat sederhana, sebaliknya
sesuatu yang sederhana bisa pula menjelma menjadi rumit. Mimpi menjadi ibu
terbaik mungkin terdengar sederhana, lebih sederhana dibanding menjadi dokter,
tetapi bagi saya menjadi ibu terbaik lebih rumit daripada menjadi dokter itu
sendiri. Setidaknya, untuk menjadi dokter, yang perlu saya lakukan hanyalah
mem-“push-up” diri saya sekeras mungkin. Sebaliknya, untuk menjadi ibu terbaik,
usaha dari saya sendiri tentu tidak cukup, butuh kerjasama dari ayah terbaik,
nah ini salah satu hal yang membuat rumit!
Ingin menjadi ibu
terbaik bukan berarti cita – cita yang sudah saya genggam sejak saya mengenal
kosakata cita – cita, menjadi dokter, tergusur begitu saja. Menjadi dokter tetaplah
cita – cita saya dari dulu hingga kini; namun perkenankanlah mimpi menjadi ibu
terbaik bertengger menjadi mimpi terbesar saya. Semoga suatu waktu nanti mimpi
yang mulia ini menjelma jadi nyata!